Kamis, 22 Mei 2008

aneh..

Mereka bilang aku aneh, tak mudah dipahami dan terlalu mengambil pikiran untuk setiap kejadian-istilah mereka, tidak gaul. Sebagian lagi malah lebih ekstrem, bilang kalau aku gila. Bukankah banyak kejadian disekitar kita kalau orang yang banyak beban pikiran bisa jadi gila? Atas dasar alasan semacam inilah mereka-yang sebagian itu-menyimpulkan hal yang sama tentang aku. Mereka menangkap kesan yang sama antara aku dan para gila tersebut.

Jadi apa yang harus kulakukan? Kuputuskan tak ada. Tak ada gunanya meladeni omongan orang-orang yang salah. Lebih baik melanjutkan hidup dan menjadi diri sendiri. Itu lebih menyenangkan menurutku, dan sehat. Kuputuskan untuk diam saja, biarlah waktu yang menjelaskan. Toh aku percaya kalau kebenaran pasti lebih masuk akal, dan yang masuk akal pasti bertahan lama. Dan tidak melakukan apa-apa merupakan hal yang paling masuk akal saat ini. Percuma meladeninya, buang-buang waktu.

***

Tok tok tok…

Ketukan di pintu kamar. Kuhentikan dulu mengetik. Tulisan ini harus cepat diselesaikan sebelum hilang inspirasinya. Ku-save dulu, takut kalau-kalau listrik mendadak mati, hari ini sudah tiga kali. Ketukan lagi. Cepat aku bangkit dari depan komputer, langsung membuka pintu. Rupanya Amir, tak berbaju, cuma mengenakan boxer warna merah, serasi dengan kulitnya yang putih kemerah-merahan, membuat orang yang melihat merasa telah ditipu oleh seseorang sehingga berakhir dalam kandang (maaf) babi akibat badan dan aroma tubuhnya yang begitu ‘khas’. Maaf aku mual… He…

Biar kutebak. Minta air panas untuk menyeduh mie instant. Pepatah kalau “orang-orang berubah”, sepertinya tak berlaku buat dia. Dari dulu juga begitu, dua bungkus indomie goreng, remas-remas, taruh didalam mangkok, siram dengan air panas, kemudian tutup dengan piring, diamkan lima menit. Setiap hari, pagi, siang, sore dan malam. Kuperhatikan badannya makin hari makin tambun, tapi tak sehat. “ Ada apa ndut?”

“Minta air panas dong…”

Apa kubilang?

Tak kujawab, langsung saja kunyalakan tombol on dibelakang dispenser made in China yang terletak di balik pintu. Benda mini tapi hebat. Solusi buat pemalas manja yang tak mau repot-repot menyalakan kompor cuma untuk sekedar memasak air panas. Paling-paling Ibu kos yang mengeluh kalau biaya listrik tiap bulan membengkak. “Ringkas dan ekonomis”, kuulangi dalam hati slogan yang tercetak dikardusnya sewaktu melihatnya terpajang distand pameran teknologi disebuah mega pasar dengan ditemani seorang teman yang tertawa-tawa sambil mengatakan kalau ternyata teknologi melahirkan budaya baru yang merusak, tapi saking ramainya orang-orang, aku tidak begitu mendengar kebudayaan yang seperti apa yang dia maksudkan.

Dan akhirnya, Mungkin lantaran slogan yang ‘menjanjikan’ dan kelihaian para SPG yang begitu terlatihnya mencari ‘mangsa’, aku dan beberapa orang yang bergerombol di dalam stand berhasil terpikat untuk membawanya pulang dengan ditebus dua ratus ribu rupiah. “Tunggu sebentar, nanti kupanggil kalau sudah panas.”

“He..eh, ” balasnya, sambil berpose ala model-model bikini musim panas. Telapak tangan sebelah kanannya di sandarkan memegang daun pintu, dan tangan sebelah kiri memegang pinggang yangsayangnya bikin tak sedap matamenggelambir berlemak. Serta tak lupa kedua kaki disilangkan dengan tingkat kemiringan sedemikian rupa yang kalau diperhatikan seperti aksi seorang aktor dalam sebuah adegan film old school Indonesia yang kulihat sekilas siang tadi ketika iseng menggonta-ganti channel stasiun TV yang banyak tapi ngebosenin.

Dengan Mengambil lokasi di sebuah taman yang nyaman, Ia-dengan pose yang sudah kubilang tadi-siap untuk melemparkan jurus ‘maut’ merayu seorang perempuan yang sedang bersandar di sebuah pohon palem. Tak lupa, sekuntum mawar yang Ia petik entah dari mana diselipkan pada cuping sang kekasih. Mereka berbicara banyak kata gombal. Kemudianseperti biasaadegan itu akan diakhiri dengan nyanyian disertai gerak-gerik keduanya bak penari India yang pincang karena sedang menderita kurap kaki, kaku sekali, dan terlalu maksa. Tak ada hot-hotnya sama sekali, sumpah!

“Sedang ngapain?” lanjutnya berbasa-basi sebelum ‘cabut’ kekamarnya kembali, mungkin takut dianggap tak sopan.

Kujawab sekenanya saja “ Lagi ngetik.”

“Wah, hobimu rumit.” katanya dengan suara agak berat, mengingatkan aku pada salah seorang terkenalyang hingga sekarang telah menginspirasi dan menjadi role model bagi banyak orangdari negeri ini, Rhoma irama. Masih pede dengan pose ala model-model bikininya. “Di zaman serba canggih sekarang ini, siapa yang mau buang-buang waktu buat membaca? Lebih enak liat langsung di TV, tak bikin capek.” sambil menarik tangan yang bersandar di daun pintu dan memutar badan, kembali ke ‘kerajaan’-nya, tepat di sebelah kamar kosku, meninggalkan aku yang belum sempat meny-elesaikan kata buat mengoreksi ucapannya

“Tap----”

***

Kututup pintu kamar, angin terlalu dingin menusuk tulang malam ini, padahal ini baru jam setengah sepuluh malam. Kuluruskan pinggang yang sudah tiga jam di ‘paksa’ duduk dengan berbaring di lantai. Ucapannya masih lekat di otak.. siapa yang mau buang-buang waktu buat membaca?

Maafkan, mungkin itulah letak kesalahanmu, kawan… kita berseberangan tentang itu. Kamu dan jutaan orang lain di negeri ini pemalas, malas sampai ke otak! imajinasi kalian payah! Maunya cuma melihat, visual, cuma ditangkap mata saja. Kalian cuma ingin bulat-bulat memolototi gambar. Sori, yang seperti itu malah buat aku capek. Kalau kalian capek membaca, Aku malah sebaliknya. Aku lebih senang melihat melalui imajinasi. Kukumpulkan keterangan lewat tulisan kemudian kulihat lewat pikiran, dan lagi-lagi, itu menyenangkan, juga sehat, baik buat otak.

Aku juga suka menonton, tapi dengan kualifikasi yang berbeda dengan yang biasa kalian lakukan. Aku tak suka dengan bualan, roman picisan, sinetron, reality show, infotainment. Aku mau yang mencerdaskan, yang bisa melatihku untuk berpikir kritis. Dan, kupikir, agak sulit menemukan yang aku cari di dalam program TV belakangan ini, bukan?

Hei! Aku punya waktu sekitar lima menit untuk melanjutkan ketikanku yang tertunda. Cepat kusambar tuts keyboard. Lampu ide nyala kembali!

***

Lagipula mereka tak salah, cuma paradigma—kerangka berfikirnya—saja yang berbeda dengan yang kupunya. Kerangka berfikir kita sedang diarahkan untuk seragam belakangan ini. Media cetak dan elektronik yang dikendalikan orang-orang rakus yang cuma berfikir jualan yang kusebut kapitalis, memiliki andil sehingga membuat masyarakat kita berfikir tentang hidup yang seperti sekarang.

Orang-orang, ditengah pesatnya teknologi sekarang ini semakin sering membiarkan khayalnya di buat seragam. Sepertinya ‘warna’ hidup itu cuma begitu-begitu saja, seperti yang di tawarkan oleh media setiap harinya. Lihat saja sendiri bagaimana sepak terjang sinetron-sinetron dengan tema yang membodohi, tema-tema percintaan yang membosankan, atau produk-produk yang dibuat seolah-olah penting yang padahal sebenarnya tidak begitu. Maka tak heran kalau bermimpi, memiliki angan, pun masyarakat kita jadi bodoh. Mereka memimpikan hal-hal yang seharusnya tidak menjadi prioritas dalam kehidupan sehari-hari. sebagai contoh, lihat saja tema yang mereka, anak-anak muda, obrolkan belakangan ini. Semuanya pasti tentang cinta ala media, pakaian up-to-date, ponsel terbaru.

Juga tak perlu heran kalau program keluarga berencana di negara ini mati. Penduduk negeri ini akan meningkat dengan pesat dalam beberapa tahun kedepan. Orang-orang dengan mengatasnamakan cinta yang biasa mereka lihat di TV membuat angka pernikahan usia muda—yang tentunya akan disertai peningkatan angka kelahiran bayi— meningkat. Dan juga budaya membeli yang membuat kita konsumtif. Hitung saja berapa banyak teman kita yang punya nomor HP lebih dari satu karena terhasut iming-iming biaya menelpon murah? Mereka (operator) yang berperang, kita yang jadi korban.

Media menteror mental kita. Seluruh aspek dalam hidup kita tanpa terkecuali. Media kita lebih banyak ngomong hal-hal yang sensasional saja. mereka lebih banyak menceritakan kalau beras naik, minyak goreng naik, subsidi minyak tanah bakal dicabut dan mengeluarkan statemen yang di skenariokan oleh pemerintah, sebagai contoh; Karena harga minyak mentah dunia naik jadi harga BBM akan disesuaikan. Padahal bukan itu jawaban sebenarnya. Yang sebenarnya terjadi adalah; Pemerintah telah dikontrol oleh negara-negara kaya untuk menswastanisasi aset pemerintah sehingga negara-negara kaya tersebut bisa memonopoli aset negara yang semula ditujukan untuk kepentingan rakyat, yang orang miskinnya lebih banyak dari yang kaya, sehingga bisa mengeruk keuntungan berlimpah.. Listrik, Air minum, Transportasi, dan aset-aset negara lainnya dijual. Karena, kalau harga BBM kita sama dengan harga yang dijual oleh pihak swasta, ‘Caltex’ misalnya, maka mereka (pihak sawasta) tidak akan rugi karena kalah bersaing karena menjual BBM dengan harga yang tinggi bila dibandingkan dengan BBM yang dikeluarkan oleh Pertamina karena disubsidi oleh pemerintah. Oleh karena itu pertamina harus diswastanisasi sehingga berfikir untuk mencari keuntungan, bukan menyejahterakan rakyat. Padahal bila dilihat dari taraf ekonomi rakyat kita yang masih jauh dari kata standar sejahtera, peran pemerintah sangat diharapkan untuk mengatasi kemiskinan di negara ini dengan meringankan beban rakyat, Subsidi BBM salah satu contohnya. Dan ini tidak ada di dalam TV.

Kalau mereka bilang aku aneh tak apa, aku memang suka dengan kebenaran. Aku benci dengan kebohongan. Dan setiap hari kebohongan terjadi di media.

Lumayanlah ketikan ini, buat jadi bahan bacaan dimasa mendatang. Tinggal menambahkan kesimpulan.

Kulirik pemanas air disebelahku. Lampu hijaunya sudah menyala. Tak beranjak dari kursi, aku langsung teriak kekamar sebelah, “Woi Bedul, sudah panas!”

Sahutan dari kamar sebelah, “Iyo, kagek dulu, tunggu iklan. Lagi seru-serunyo”

Huh! Sinetron lagi. Iklan lagi. Manipulasi lagi. Konsumtif. Konsumerisme. Kapitalisme. Kanibalisme!

Maaf aku capek, mau tidur, ada yang perlu direnggangkan dari pikiran ini. Aku lupa bilang kalau menjadi diri sendiri cukup melelahkan.

Kelai..

Dua orang remaja berkelahi. Permasalahan dimulai oleh seseorang dari mereka. Ada yang suka mengekspresikan dirinya secara berlebihan. Merampas barang-barang milik teman merupakan kenikmatan baginya. Dan ada yang menjadi pahlawan, membela hak orang lain dan berkata: Siap untuk berada di garis terdepan walau bagaimanapun beratnya resiko yang akan dihadapi. Ia menolak keras penindasan. Apalagi Cantik, sang dewi pujaan, perempuan yang Ia taksir, sedang terancam. Boneka india yang pandai main mata miliknya dirusak.

Dan inilah pertarungan akbar. Sepulang sekolah di sebuah tanah lapang belakang sekolah. Teman-teman mereka ramai menyaksikan. Beberapa ada yang cemas, takut kalau-kalau satpam sekolah datang melerai sehingga membatalkan pertarungan. Beberapa orang memasang taruhan, melanjutkan kebiasaan yang orangtua mereka sering lakukan.

Cantik-sesuai dengan namanya, gadis cilik berambut hitam-tebal-lurus sebahu, sang pemilik boneka India yang pandai main mata, tak hadir dalam perhelatan tersebut. Ia langsung pulang dijemput pak sopir. Kehilangan satu atau dua boneka bukan masalah besar baginya. Kecil-kecil begini Dia sudah pegang kartu kredit sendiri, Platinum pula. Papi tersayang -yang sering keluar negeri- yang memberikan. Beliau bilang, Cantik tidak boleh jajan sembarangan. Nanti sakit, kata Mami setiap pagi, sambil tak lupa mengecup keningnya, sebelum Ia berangkat sekolah. Ia memang kesayangan Papi dan Mami.

Sekarang Cantik sedang menuju sebuah pusat perbelanjaan. Boneka India yang pandai main mata dijual disana. Ia duduk dikursi belakang mobil sedan. Tak sabar hatinya. Pak sopir diperintah untuk ngebut. Boneka itu terkulai lemas dipangkuannya. Tangan kanannya patah, mata kirinya yang pandai berkedip kini rusak, tak mampu lagi terpejam. Mobil merangkak pelan membelah jalanan kota yang padat kendaraan. Cuaca panas diluar ‘kalah’ oleh pendingin dalam mobil. Membuat orang-orang yang berada didalamnya akan diliputi perasaan nyaman karena terbuai hawa dingin, tapi tidak untuk Cantik. Satu persimpangan lagi. Makin tak sabar hatinya. Gedung tinggi mall itu sudah terlihat di sebelah kiri. Pak sopir menekan pedal gas lebih dalam. Mobil mewah itu melaju anggun bak lenggak-lenggok peragawati di catwalk dalam sebuah peragaan adi busana. Beberapa menit berlalu, Mobil sedan hitam buatan Perancis itu berbelok kiri. Lampu sign di buritan mengerjap-ngerjap indah. Mobil berhenti sejenak di depan sebuah palang kayu, dekat sebuah ruangan yang berukuran kardus lemari es dua pintu di sebelah kanan. Prosedur standar. Tak seberapa makan waktu, mobil kembali melaju.

Di belakang sekolah, dilapangan kecil, jauh dari jalanan didepan areal parkiran sebuah pusat perbelanjaan, tempat Cantik kini berada, anak-anak kelas satu yang masuk siang menyempatkan diri menonton pertandingan akbar itu. Ternyata kabar menyebar dengan cepat. Penonton bertambah ramai. Laki-laki dan -walau tak sebanyak anak lelaki- perempuan berkumpul, lapangan jadi berwarna putih biru. Mereka duduk berkelompok-kelompok dibawah barisan pohon jarak, menghindar dari sengatan matahari. Beberapa yang baru datang langsung bergabung dalam beberapa titik kerumunan, malah ada yang ikut memasang taruhan. Riuh rendah suara taruhan. Sejumlah kecil anak-anak perempuan yang berada diantara perasaan takut dan penasaran ingin menonton, menangis berbisik. Terik matahari menambah keruh suasana.

Pertarungan belum dimulai. Kedua jago masih ‘diskusi’ dengan kelompok pendukungnya masing-masing, tak jelas apa yang sedang dibicarakan oleh mereka. Mungkin masing-masing sedang menganalisa lawan. Anak-anak yang sudah tak sabaran makin gaduh. Mereka berteriak bertanya kapan perkelahian akan dimulai. Anak-anak yang sekolah siang, tak sabaran, memprovokasi situasi menjadi panas. mereka takut telat. Anak perempuan, tak jelas sebabnya, masih menangis sambil berpeluk-pelukan.

****

Disana, masih dihalaman belakang sekolah, di ujung kiri lapangan, dekat rerimbunan semak kering, agak jauh dari keriuhan anak-anak SMP, sepasang remaja berseragam abu-abu baru datang, mereka berboncengan sepeda motor. Sepertinya mereka kabur dari sekolah. Dari atas motor, kepala mereka celingak- celinguk membaca situasi, mungkin mencari tempat buat ‘perhelatan akbar’ mereka sendiri. Hendak ber-asyik masyuk kasak-kusuk. Kerumunan itu terlalu sibuk Tak ada yang menyaksikan kehadiran mereka berdua. Baguslah! Pikir mereka, kemudian, dengan tergesa, keduanya menghilang di balik rerimbunan semak.

****

Kedua jago mulai memasuki ‘ring’. Lingkaran dibuat oleh kerumunan manusia, para penonton. Hening. Tak ada wasit yang mengatur jalannya pertandingan. Angin musim kemarau yang membawa uap panas berhembus pelan. Semua menunggu-nunggu siapakah yang akan membuka pukulan. Kedua jago diam, muka mereka sangat tegang. Kemeja putih mereka bergerak-gerak terkena tiupan angin. Keduanya berdiri tegak di tengah arena. Hening. Terik matahari makin menyengat, juga menyilaukan mata, semakin menumpulkan logika. Tiba-tiba…

Buk!

Tanpa basa-basi, salah seorang melayangkan pukulan. Maksudnya kemuka lawan, tapi sial! lawan sudah mengantisipasi keadaan. Pukulan sang ayah yang menganggur ternyata memberi manfaat, khususnya hari ini. Badannya jadi kebal pukulan,

Tak!

Bunyi kedua pergelangan tangan yang berbeda tujuan beradu. Suaranya terdengar memilukan. Penonton kembali gaduh, ada yang malah menaikkan taruhan. Anak-anak perempuan menarik nafas tertahan, kemudian kembali menangis. Lonceng telah dibunyikan.

Pukulan demi pukulan, tangkisan… kemudian berlanjut ketendangan. Pertarungan masuk ke gaya bebas. Mereka menjambak, mencakar dan mencekik lawan hingga menggunakan persenjataan seadanya. Kayu, batu kerikil dan pasir. Titik-titik darah mulai menghias pada wajah kedua jago. Lapangan yang kering akibat kemarau menjadi tambah kusam. Debu beterbangan ke udara.

Penonton masih gaduh. Mereka tetap konsisten membentuk formasi lingkaran walau kedua jago berkelahi pontang-panting kesana-kemari. Seperti dikomandoi, Penonton makin gaduh saat salah satu dari kedua jago ada yang terjatuh. Beberapa orang menarik nafas pendek, terkejut, kemudian kembali ribut menyemangati, tak jelas siapa yang dijagokan. Anak-anak perempuan berpelukan menangis histeris menutup mata dengan telapak tangan, tapi anehnya, sambil mengintip disela-sela jemari. Mereka masih penasaran rupanya. Matahari bertambah panas di tengah kepala. Amarah kedua jago tambah membara. Uforia kejantanan menguasai diri mereka masing-masing. Menang atau mati!

****

Disana, dipojok kiri lapangan, dibalik semak-semak. Kedua orang muda-mudi tadi tak terlihat dengan jelas, cuma punggung mereka yang kelihatan samar. Yang pasti keduanya sedang duduk berdampingan tak terlalu rapat diatas rumput. Motor yang membawa mereka tak terlihat. Silelaki berada dikiri dan Siperempuan berada di sebelah kanan. Dengan posisi kepala miring berlawanan, wajah mereka beradu sebentar. Dalam satu waktu itu, tangan kanan Silelaki, dengan gesit- merogoh sesuatu pada punggung ‘lawan’ yang sesekali melenguh tertahan, menelusup kebalik seragam putih, tak jelas sedang apa. Sekarang tangannya ‘hilang’ sebatas lengan…

Adegan demi adegan terus berlanjut. Walau tetap pada posisi duduk yang semula, kepala si-Perempuan tak terlihat, cuma separuh punggung dan siku tangan kirinya yang berhias gelang berwarna pink terang terlihat jelas melingkari pinggang Silelaki yang telah menelusupkan tangan kanannya ke sela bawah ketiak kiri Siperempuan, langsung masuk kebalik seragam putih. Sedangkan Siperempuan-pelan, tapi pasti- dengan posisi kepala dan mulut berada di depan perut sang pacar, melakukan gerakan yang berulang-ulang, naik turun. Rambutnya yang panjang dan lebat terjuntai hingga menyentuh tanah terlihat dari sebelah dalam tangan kirinya yang melingkari pinggang Silelaki yang telah ‘menemukan’ sesuatu, pada bagian depan, di balik seragam putih Siperempuan, yang Ia cari. Beberapa kali rambut itu bergerak mengikuti irama kepala sang pemilik. Ternyata mereka sedang asyik mengekspresikan ‘cinta’.

****

Lapangan berdebu makin tebal. Kedua jagoan dalam perhelatan akbar tinju gaya bebas masih ‘asyik’. Dan penonton, seperti tak kenal lelah, masih gaduh asyik menonton. Anak-anak perempuan, diantara perasaan takut menonton dan ingin tahu, masih menangis, sambil sesekali tepuk tangan, tak jelas berada di pihak siapa. Tapi yang pasti, mereka mulai menikmati pertunjukan.

****

Tak jauh dari situ, seorang Satpam sekolah yang berniat buang hajat kecil didinding tembok sekolah dibelakang musholla, secara tak sengaja menyaksikan kejadian ini. Tanpa mencuci dahulu, Ia langsung beranjak tergesa. Tembok sekolah yang tak terlalu tinggi Ia lompati dan langsung berlari menghampiri kerumunan itu. Retseting celananya Ia naikkan terburu-buru,

Hei, Berhenti!

Serunya sambil berlari, suaranya berat.

Berhenti!

Hening.

Penonton terperanjat bukan main. Muka mereka terlihat panik… Kemudian kerumunan itu gaduh, kocar-kacir sporadis berlari meninggalkan ‘tontonan’. Debu makin kacau berterbangan bebas keudara.

****

Dan sekarang, tinggallah dua jagoan yang kelelahan. Emosi yang turun membuat pekat rasa capek, membuat tulang-tulang terasa ngilu. Mereka terlalu capek hingga tak kuat berlari. Darah mengalir dihidung, pelipis dan mulut. Baju seragam mereka kusut masai. Nafas keduanya memburu. Dada mereka naik turun megap-megap memburu oksigen. Keduanya duduk diatas pasir, kelelahan, tapi emosi mereka masih membara. Mata keduanya nyalang, berkilat liar bak harimau yang sedang berburu kijang, bertatapan. Pertarungan belum usai! Kurang lebih begitu kata-kata yang mereka pikirkan satu sama lain.

Pak satpam makin dekat. Tak ada lagi celah untuk berlari! Keduanya terduduk pasrah.

Kenapa berkelahi?!

Pak Satpam bertanya membentak keduanya. Muka disetting sangar. Kumis yang lebat makin mempertegas kegarangannya.

Kenapa main kekerasan?!

Bodoh!

Ayo berdiri!

Kemudian,

Plak! Plak!

Plak! Plak!

Masing-masing jagoan mendapat dua kali tamparan di pipi.

Ikut keruang BP!

Hierrgghh.. Cuih! Perang!

Matahari tepat berada ditengah. Panasnya minta ampun, menyengat sampai ke kepala dan menyilaukan mata. Tak henti-hentinya keringat bercucuran. Habis sudah pakaian bersih satu-satunya yang kukenakan! Kumal kena keringatku dan keringat orang-orang yang berdesakan di dalam bus kota pengap ini.

Sungguh hiruk-pikuk ini begitu menyebalkan! Ditambah tingkahan musik re-mix yang tersambung pada speaker kelas ‘kambing’ yang suara treble dan bass-nya bikin mual. Plus getaran kaca jendela yang bersinggungan dengan musik yang disetel maksimum, perutku tambah tak sedap rasanya… derr… derr.. derr… derr..derr. Aduh!

Biar kuceritakan apa yang sedang terjadi pada kalian. Tolong dengarkan baik-baik…. Kita mundur sejenak kemasa belakang…

***

Seorang pemuda melangkah gontai keluar dari sebuah gedung bertingkat. Mukanya lusuh, awut-awutan, melambangkan kenestapaan. Walau pakaian yang Ia kenakan begitu parlente, necis, tetap tak mampu menyembunyikan kesedihan itu. Matanya nanar mengandungkan kekecewaan mendalam.

Tepat dipintu masuk, sejenak ia berdiri di lobi gedung megah itu. Dipandanginya orang-orang yang berpakaian rapi, yang sibuk mengurusi pekerjaan, berlalu lalang dihadapannya. Tak ada yang menggubrisnya. Ia iri, sangat iri, pada mereka.

Ia ditolak lagi. Undangan wawancara sedari seminggu kemarin yang diharapkan kandas sudah. Sial betul! Pikirnya, ternyata IPK tinggi tak mampu menjamin apa-apa buat masa depan. Sudah beberapa kali Ia kehilangan kesempatan. Dan sekarang, dipinggir jalan yang riuh dengan suara kendaraan, Ia menanti bus kota yang akan membawanya pulang, kembali ke peraduan. Sekali ia menoleh ke arah gedung megah itu, tepat sedetik ketika bus kota yang ditunggunya muncul. Sekali lagi dia menanggung kecewa.

***

Tak lama kemudian, dia sudah berada dalam sebuah bus yang dikendalikan seorang gemuk berkumis lebat tak berbaju dengan handuk kecil melingkari lehernya.

Diatas amplifier, tepat dihadapannya, dibelakang setir, sebuah kipas kecil tertatih-tatih berputar dihadapannya, putaran baling-balingnya begitu pelan mencoba mendinginkan udara dihaluan walau sepertinya muskil terjadi, tapi sang supir tak perduli. Ia tak tergoyahkan berada disinggasananya, dibarisan terdepan, entah dalam suasana panas maupun dingin. Karena memang, setoran merupakan hal paling utama buatnya.

Tepat di tengah kaca lengkung di depan, pada sudut paling atas, tertera tulisan, dengan huruf kapital besar-besar warna Pink ‘medok’ yang berbunyi: B. B. M

Dan dengan prinsip suka-suka gue yang dijunjung tinggi oleh para seniman, pada interiornya meriah dihiasi dengan karya ribet padat kertas minyak warna-warni yang dilekatkan begitu saja pada langit-langit bus. Kurang lebih mirip-mirip dekorasi tenda kondangan acara pernikahan yang dibuat oleh anak-anak muda anggota Karang Taruna. Plus, musik Re-mix organ tunggal yang biasa ditanggap di daerah pemukiman warga kebanyakan yang dikemas dalam kepingan kaset bajakan dan menyalak kresek-kresek akibat speaker yang terlalu sering ‘bekerja keras’ karena disetel dalam volume maksimum, yang ditabuh sekencang-kencangnya sebagai hiburan, bagi sebagian orang. Dan penyiksaan bagi yang lainnya.

Bus berjalan pelan tersendat-sendat, meninggalkan asap hitam yang mengepul tebal walau dilihat dari jarak 10 meter. Akibatnya, Tulisan besar pada kaca belakang, dengan warna senada dengan tulisan pada kaca depan hampir tak kelihatan, padahal itu menjelaskan maksud dari tulisan pada kaca depan: Bikin Bingung Masyarakat

****

Padat sekali didalam bus itu. Ada Ibu-Ibu, Bapak-Bapak, perempuan muda ber-make-up tebal, pasangan, anak sekolah. Semua diam, mungkin tak bersemangat untuk berkata walau sepatah, akibat cuaca panas yang memeras cairan tubuh.

Tubuh-tubuh yang kelelahan itu tergoncang bebas kesana kemari seirama laju bus kota yang mereka tumpangi. Mereka memenuhi tiap sela yang dapat memuat mereka, hingga membuat bus miring ke kiri karena banyaknya penumpang yang berdiri di dekat pintu.

Walaupun begitu, si kernet kurus cungkring, dengan menggenggam lembaran uang di tangan kiri sambil mengacung-acungkan telunjuknya pada orang-orang yang berdiri dipinggir jalan dan tangan kanan berpegangan pada handle pintu bagian belakang, cuek berteriak-teriak menawarkan jasa tumpangan pada orang-orang yang berdiri di pinggiran jalan meskipun dia sendiri tak mampu menjawab dimana lagi calon penumpang yang hendak bergabung akan Ia letakkan. Bukit! Bukit! Bukit!

Lagu re-mix Ari lassoentah apa judulnyamenghentak kencang, ditingkahi getaran daun jendela,

‘kubayangkan bila engkau datang’

gerr..der..derr..derr..derrr

‘kupeluk dan bahagiakan aku’

drrt…drt…gerr…ger…

Begitu terus berulang-ulang. Dikira-kira, satu lagu ini saja dalam versi re-mix durasinya bisa bertambah jadi lima belas menitan. Apalagi ditambah potongan-potongan melodi yang diambil dari lagu-lagu lain macam smells like teen spirit-nya Nirvana yang bakal buat Kurt Cobain ngamuk-ngamuk didalam kubur, intro pembuka sweet child o mine-nya Gun’s N Rose, Nidji, Matta dan banyak lagi yang lain… Jadi… Capek deh…

Tak usah dibayangkan bagaimana kusutnya Ia, sang penestapa, yang duduk di bangku paling belakang dekat pintu. Ia menyesali keputusannya memilih bus ini. Wajahnya begitu gusar. Hidup itu begitu menyebalkan, pikirnya. Ditolak kerja dan ‘terjebak’ didalam bus beraroma masam, kombinasi berbagai macam keringat penumpang dan asap rokok yang keluar dari mulut orang-orang bebal adalah sebuah perpaduan yang pas untuk meperburuk suasana hati.

‘Beruntung’, Ia kebagian tempat duduk yang harus ‘dibagi’ bersama lima orang lain dikursi panjang yang seharusnya cuma muat untuk empat orang sehingga membuatnya sesak nafas karena tergencet. Berkali-kali Ia ‘duel’ pantat dengan orang-orang disebelahnya.

Speaker kecil yang terpasang pada langit-langit bus menderu tepat diatas kepalanya, Pfff…. Pikirannya sekarang tak banyak, cuma rumah. Ia ingin beristirahat, mandi dan kemudian nongkrong didekat kipas angin.

Keringat masih bercucuran deras. Dahinya basah berkilat oleh paduan keringat dan Gatsby yang mencair akibat panas. Baju parlentenya sudah tak karuan, basahnya bukan main. Aromanya sudah tak jelas, antara harum parfum Bvlgari non alkohol yang dibeli di mall dan masam keringat penumpang yang bersenggolan karena goncangan akibat lubang jalan dan ‘permainan’ pedal rem sang supir ugal-ugalan.

Pikirannya benar-benar kacau. Terlalu banyak pertanyaan yang hinggap dikepalanya. Semuanya tentang dirinya. Ia tak tahu potensi apa yang benar-benar Ia punya,

Keahlian apa yang dikuasainya dan akan menemani, hingga kelak mengantarkannya pada masa depan yang diharapkan hingga kemudian berbahagia?

Sejak lama ia meragukan dirinya sendiri, apa betul dirinya manusia? Ataukah dirinya sudah menjadi manusia yang tak lagi manusia, bergabung dalam kerumunan manusia yang tak mengenali diri mereka akibat kebingungan?

Ingin rasanya dia menjerit, menumpahkan kekesalannya, pada siapa saja.

Untung saja, angin tak sehat sesekali berhembus ketika bus mulai bergerak kembali, mendinginkan kepalanya, walau cuma sebentar.

Ia terlalu lelah fikiran hari ini.

Terngiang kata-kata terakhir mendiang Ibunya, “Sekolahlah, gapai ilmu setinggi-tingginya agar masa depanmu tak suram. Buat kami, keluargamu, bangga.”, dan sejak saat itu ia telah bertekad. Dengan dibiayai Ayah, akan ia abdikan dirinya pada pendidikan. Berkutat pada jam-jam dan mata kuliah yang sebenarnya tak Ia pahami hingga lulus membanggakan dengan nilai, n-i-l-a-i, tinggi-walau tanpa pemahaman pelajaran.

****

Ngiit…

“Bukit! Bukit! Bukit!”

“Kasih lewat, kasih lewat pak…”

“Ayo goyang Ibu, cepat sedikit turunnya. Polantas itu sudah memperhatikan kita”

Suara rem dan teriakan sikernet membuyarkan lamunan si pemuda. Jalanan padat dengan kendaraan. Belum jauh berjalan, Bus sudah beberapa kali berhenti buat menaikkan dan menurunkan penumpang. Tak ada tempat pemberhentian khusus, sepanjang jalan adalah halte. Bus bisa berhenti kapan saja dan dimana saja. Asap hitam terus mengepul dari lubang knalpot di buritan seakan ingin menelan setiap kendaraan yang tersiram polusi. Pelan, tapi pasti, bus itu bergerak menjauhi gedung megah yang telah mengandaskan satu lagi-dari jutaan-harapan yang berserakan.

***

Dan, yang lebih menyakitkan lagi,

Orang itu Aku.

Lulus kuliah. Kalah perang!

apologize

sori bung-bung sekalian. soalnya kemalasan belakangan lebih mendominasi.
sebagai permintaan maaf, aku posting dua cerpen. tolong dikritisi.