Kamis, 22 Mei 2008

Hierrgghh.. Cuih! Perang!

Matahari tepat berada ditengah. Panasnya minta ampun, menyengat sampai ke kepala dan menyilaukan mata. Tak henti-hentinya keringat bercucuran. Habis sudah pakaian bersih satu-satunya yang kukenakan! Kumal kena keringatku dan keringat orang-orang yang berdesakan di dalam bus kota pengap ini.

Sungguh hiruk-pikuk ini begitu menyebalkan! Ditambah tingkahan musik re-mix yang tersambung pada speaker kelas ‘kambing’ yang suara treble dan bass-nya bikin mual. Plus getaran kaca jendela yang bersinggungan dengan musik yang disetel maksimum, perutku tambah tak sedap rasanya… derr… derr.. derr… derr..derr. Aduh!

Biar kuceritakan apa yang sedang terjadi pada kalian. Tolong dengarkan baik-baik…. Kita mundur sejenak kemasa belakang…

***

Seorang pemuda melangkah gontai keluar dari sebuah gedung bertingkat. Mukanya lusuh, awut-awutan, melambangkan kenestapaan. Walau pakaian yang Ia kenakan begitu parlente, necis, tetap tak mampu menyembunyikan kesedihan itu. Matanya nanar mengandungkan kekecewaan mendalam.

Tepat dipintu masuk, sejenak ia berdiri di lobi gedung megah itu. Dipandanginya orang-orang yang berpakaian rapi, yang sibuk mengurusi pekerjaan, berlalu lalang dihadapannya. Tak ada yang menggubrisnya. Ia iri, sangat iri, pada mereka.

Ia ditolak lagi. Undangan wawancara sedari seminggu kemarin yang diharapkan kandas sudah. Sial betul! Pikirnya, ternyata IPK tinggi tak mampu menjamin apa-apa buat masa depan. Sudah beberapa kali Ia kehilangan kesempatan. Dan sekarang, dipinggir jalan yang riuh dengan suara kendaraan, Ia menanti bus kota yang akan membawanya pulang, kembali ke peraduan. Sekali ia menoleh ke arah gedung megah itu, tepat sedetik ketika bus kota yang ditunggunya muncul. Sekali lagi dia menanggung kecewa.

***

Tak lama kemudian, dia sudah berada dalam sebuah bus yang dikendalikan seorang gemuk berkumis lebat tak berbaju dengan handuk kecil melingkari lehernya.

Diatas amplifier, tepat dihadapannya, dibelakang setir, sebuah kipas kecil tertatih-tatih berputar dihadapannya, putaran baling-balingnya begitu pelan mencoba mendinginkan udara dihaluan walau sepertinya muskil terjadi, tapi sang supir tak perduli. Ia tak tergoyahkan berada disinggasananya, dibarisan terdepan, entah dalam suasana panas maupun dingin. Karena memang, setoran merupakan hal paling utama buatnya.

Tepat di tengah kaca lengkung di depan, pada sudut paling atas, tertera tulisan, dengan huruf kapital besar-besar warna Pink ‘medok’ yang berbunyi: B. B. M

Dan dengan prinsip suka-suka gue yang dijunjung tinggi oleh para seniman, pada interiornya meriah dihiasi dengan karya ribet padat kertas minyak warna-warni yang dilekatkan begitu saja pada langit-langit bus. Kurang lebih mirip-mirip dekorasi tenda kondangan acara pernikahan yang dibuat oleh anak-anak muda anggota Karang Taruna. Plus, musik Re-mix organ tunggal yang biasa ditanggap di daerah pemukiman warga kebanyakan yang dikemas dalam kepingan kaset bajakan dan menyalak kresek-kresek akibat speaker yang terlalu sering ‘bekerja keras’ karena disetel dalam volume maksimum, yang ditabuh sekencang-kencangnya sebagai hiburan, bagi sebagian orang. Dan penyiksaan bagi yang lainnya.

Bus berjalan pelan tersendat-sendat, meninggalkan asap hitam yang mengepul tebal walau dilihat dari jarak 10 meter. Akibatnya, Tulisan besar pada kaca belakang, dengan warna senada dengan tulisan pada kaca depan hampir tak kelihatan, padahal itu menjelaskan maksud dari tulisan pada kaca depan: Bikin Bingung Masyarakat

****

Padat sekali didalam bus itu. Ada Ibu-Ibu, Bapak-Bapak, perempuan muda ber-make-up tebal, pasangan, anak sekolah. Semua diam, mungkin tak bersemangat untuk berkata walau sepatah, akibat cuaca panas yang memeras cairan tubuh.

Tubuh-tubuh yang kelelahan itu tergoncang bebas kesana kemari seirama laju bus kota yang mereka tumpangi. Mereka memenuhi tiap sela yang dapat memuat mereka, hingga membuat bus miring ke kiri karena banyaknya penumpang yang berdiri di dekat pintu.

Walaupun begitu, si kernet kurus cungkring, dengan menggenggam lembaran uang di tangan kiri sambil mengacung-acungkan telunjuknya pada orang-orang yang berdiri dipinggir jalan dan tangan kanan berpegangan pada handle pintu bagian belakang, cuek berteriak-teriak menawarkan jasa tumpangan pada orang-orang yang berdiri di pinggiran jalan meskipun dia sendiri tak mampu menjawab dimana lagi calon penumpang yang hendak bergabung akan Ia letakkan. Bukit! Bukit! Bukit!

Lagu re-mix Ari lassoentah apa judulnyamenghentak kencang, ditingkahi getaran daun jendela,

‘kubayangkan bila engkau datang’

gerr..der..derr..derr..derrr

‘kupeluk dan bahagiakan aku’

drrt…drt…gerr…ger…

Begitu terus berulang-ulang. Dikira-kira, satu lagu ini saja dalam versi re-mix durasinya bisa bertambah jadi lima belas menitan. Apalagi ditambah potongan-potongan melodi yang diambil dari lagu-lagu lain macam smells like teen spirit-nya Nirvana yang bakal buat Kurt Cobain ngamuk-ngamuk didalam kubur, intro pembuka sweet child o mine-nya Gun’s N Rose, Nidji, Matta dan banyak lagi yang lain… Jadi… Capek deh…

Tak usah dibayangkan bagaimana kusutnya Ia, sang penestapa, yang duduk di bangku paling belakang dekat pintu. Ia menyesali keputusannya memilih bus ini. Wajahnya begitu gusar. Hidup itu begitu menyebalkan, pikirnya. Ditolak kerja dan ‘terjebak’ didalam bus beraroma masam, kombinasi berbagai macam keringat penumpang dan asap rokok yang keluar dari mulut orang-orang bebal adalah sebuah perpaduan yang pas untuk meperburuk suasana hati.

‘Beruntung’, Ia kebagian tempat duduk yang harus ‘dibagi’ bersama lima orang lain dikursi panjang yang seharusnya cuma muat untuk empat orang sehingga membuatnya sesak nafas karena tergencet. Berkali-kali Ia ‘duel’ pantat dengan orang-orang disebelahnya.

Speaker kecil yang terpasang pada langit-langit bus menderu tepat diatas kepalanya, Pfff…. Pikirannya sekarang tak banyak, cuma rumah. Ia ingin beristirahat, mandi dan kemudian nongkrong didekat kipas angin.

Keringat masih bercucuran deras. Dahinya basah berkilat oleh paduan keringat dan Gatsby yang mencair akibat panas. Baju parlentenya sudah tak karuan, basahnya bukan main. Aromanya sudah tak jelas, antara harum parfum Bvlgari non alkohol yang dibeli di mall dan masam keringat penumpang yang bersenggolan karena goncangan akibat lubang jalan dan ‘permainan’ pedal rem sang supir ugal-ugalan.

Pikirannya benar-benar kacau. Terlalu banyak pertanyaan yang hinggap dikepalanya. Semuanya tentang dirinya. Ia tak tahu potensi apa yang benar-benar Ia punya,

Keahlian apa yang dikuasainya dan akan menemani, hingga kelak mengantarkannya pada masa depan yang diharapkan hingga kemudian berbahagia?

Sejak lama ia meragukan dirinya sendiri, apa betul dirinya manusia? Ataukah dirinya sudah menjadi manusia yang tak lagi manusia, bergabung dalam kerumunan manusia yang tak mengenali diri mereka akibat kebingungan?

Ingin rasanya dia menjerit, menumpahkan kekesalannya, pada siapa saja.

Untung saja, angin tak sehat sesekali berhembus ketika bus mulai bergerak kembali, mendinginkan kepalanya, walau cuma sebentar.

Ia terlalu lelah fikiran hari ini.

Terngiang kata-kata terakhir mendiang Ibunya, “Sekolahlah, gapai ilmu setinggi-tingginya agar masa depanmu tak suram. Buat kami, keluargamu, bangga.”, dan sejak saat itu ia telah bertekad. Dengan dibiayai Ayah, akan ia abdikan dirinya pada pendidikan. Berkutat pada jam-jam dan mata kuliah yang sebenarnya tak Ia pahami hingga lulus membanggakan dengan nilai, n-i-l-a-i, tinggi-walau tanpa pemahaman pelajaran.

****

Ngiit…

“Bukit! Bukit! Bukit!”

“Kasih lewat, kasih lewat pak…”

“Ayo goyang Ibu, cepat sedikit turunnya. Polantas itu sudah memperhatikan kita”

Suara rem dan teriakan sikernet membuyarkan lamunan si pemuda. Jalanan padat dengan kendaraan. Belum jauh berjalan, Bus sudah beberapa kali berhenti buat menaikkan dan menurunkan penumpang. Tak ada tempat pemberhentian khusus, sepanjang jalan adalah halte. Bus bisa berhenti kapan saja dan dimana saja. Asap hitam terus mengepul dari lubang knalpot di buritan seakan ingin menelan setiap kendaraan yang tersiram polusi. Pelan, tapi pasti, bus itu bergerak menjauhi gedung megah yang telah mengandaskan satu lagi-dari jutaan-harapan yang berserakan.

***

Dan, yang lebih menyakitkan lagi,

Orang itu Aku.

Lulus kuliah. Kalah perang!

Tidak ada komentar: