Kamis, 22 Mei 2008

Kelai..

Dua orang remaja berkelahi. Permasalahan dimulai oleh seseorang dari mereka. Ada yang suka mengekspresikan dirinya secara berlebihan. Merampas barang-barang milik teman merupakan kenikmatan baginya. Dan ada yang menjadi pahlawan, membela hak orang lain dan berkata: Siap untuk berada di garis terdepan walau bagaimanapun beratnya resiko yang akan dihadapi. Ia menolak keras penindasan. Apalagi Cantik, sang dewi pujaan, perempuan yang Ia taksir, sedang terancam. Boneka india yang pandai main mata miliknya dirusak.

Dan inilah pertarungan akbar. Sepulang sekolah di sebuah tanah lapang belakang sekolah. Teman-teman mereka ramai menyaksikan. Beberapa ada yang cemas, takut kalau-kalau satpam sekolah datang melerai sehingga membatalkan pertarungan. Beberapa orang memasang taruhan, melanjutkan kebiasaan yang orangtua mereka sering lakukan.

Cantik-sesuai dengan namanya, gadis cilik berambut hitam-tebal-lurus sebahu, sang pemilik boneka India yang pandai main mata, tak hadir dalam perhelatan tersebut. Ia langsung pulang dijemput pak sopir. Kehilangan satu atau dua boneka bukan masalah besar baginya. Kecil-kecil begini Dia sudah pegang kartu kredit sendiri, Platinum pula. Papi tersayang -yang sering keluar negeri- yang memberikan. Beliau bilang, Cantik tidak boleh jajan sembarangan. Nanti sakit, kata Mami setiap pagi, sambil tak lupa mengecup keningnya, sebelum Ia berangkat sekolah. Ia memang kesayangan Papi dan Mami.

Sekarang Cantik sedang menuju sebuah pusat perbelanjaan. Boneka India yang pandai main mata dijual disana. Ia duduk dikursi belakang mobil sedan. Tak sabar hatinya. Pak sopir diperintah untuk ngebut. Boneka itu terkulai lemas dipangkuannya. Tangan kanannya patah, mata kirinya yang pandai berkedip kini rusak, tak mampu lagi terpejam. Mobil merangkak pelan membelah jalanan kota yang padat kendaraan. Cuaca panas diluar ‘kalah’ oleh pendingin dalam mobil. Membuat orang-orang yang berada didalamnya akan diliputi perasaan nyaman karena terbuai hawa dingin, tapi tidak untuk Cantik. Satu persimpangan lagi. Makin tak sabar hatinya. Gedung tinggi mall itu sudah terlihat di sebelah kiri. Pak sopir menekan pedal gas lebih dalam. Mobil mewah itu melaju anggun bak lenggak-lenggok peragawati di catwalk dalam sebuah peragaan adi busana. Beberapa menit berlalu, Mobil sedan hitam buatan Perancis itu berbelok kiri. Lampu sign di buritan mengerjap-ngerjap indah. Mobil berhenti sejenak di depan sebuah palang kayu, dekat sebuah ruangan yang berukuran kardus lemari es dua pintu di sebelah kanan. Prosedur standar. Tak seberapa makan waktu, mobil kembali melaju.

Di belakang sekolah, dilapangan kecil, jauh dari jalanan didepan areal parkiran sebuah pusat perbelanjaan, tempat Cantik kini berada, anak-anak kelas satu yang masuk siang menyempatkan diri menonton pertandingan akbar itu. Ternyata kabar menyebar dengan cepat. Penonton bertambah ramai. Laki-laki dan -walau tak sebanyak anak lelaki- perempuan berkumpul, lapangan jadi berwarna putih biru. Mereka duduk berkelompok-kelompok dibawah barisan pohon jarak, menghindar dari sengatan matahari. Beberapa yang baru datang langsung bergabung dalam beberapa titik kerumunan, malah ada yang ikut memasang taruhan. Riuh rendah suara taruhan. Sejumlah kecil anak-anak perempuan yang berada diantara perasaan takut dan penasaran ingin menonton, menangis berbisik. Terik matahari menambah keruh suasana.

Pertarungan belum dimulai. Kedua jago masih ‘diskusi’ dengan kelompok pendukungnya masing-masing, tak jelas apa yang sedang dibicarakan oleh mereka. Mungkin masing-masing sedang menganalisa lawan. Anak-anak yang sudah tak sabaran makin gaduh. Mereka berteriak bertanya kapan perkelahian akan dimulai. Anak-anak yang sekolah siang, tak sabaran, memprovokasi situasi menjadi panas. mereka takut telat. Anak perempuan, tak jelas sebabnya, masih menangis sambil berpeluk-pelukan.

****

Disana, masih dihalaman belakang sekolah, di ujung kiri lapangan, dekat rerimbunan semak kering, agak jauh dari keriuhan anak-anak SMP, sepasang remaja berseragam abu-abu baru datang, mereka berboncengan sepeda motor. Sepertinya mereka kabur dari sekolah. Dari atas motor, kepala mereka celingak- celinguk membaca situasi, mungkin mencari tempat buat ‘perhelatan akbar’ mereka sendiri. Hendak ber-asyik masyuk kasak-kusuk. Kerumunan itu terlalu sibuk Tak ada yang menyaksikan kehadiran mereka berdua. Baguslah! Pikir mereka, kemudian, dengan tergesa, keduanya menghilang di balik rerimbunan semak.

****

Kedua jago mulai memasuki ‘ring’. Lingkaran dibuat oleh kerumunan manusia, para penonton. Hening. Tak ada wasit yang mengatur jalannya pertandingan. Angin musim kemarau yang membawa uap panas berhembus pelan. Semua menunggu-nunggu siapakah yang akan membuka pukulan. Kedua jago diam, muka mereka sangat tegang. Kemeja putih mereka bergerak-gerak terkena tiupan angin. Keduanya berdiri tegak di tengah arena. Hening. Terik matahari makin menyengat, juga menyilaukan mata, semakin menumpulkan logika. Tiba-tiba…

Buk!

Tanpa basa-basi, salah seorang melayangkan pukulan. Maksudnya kemuka lawan, tapi sial! lawan sudah mengantisipasi keadaan. Pukulan sang ayah yang menganggur ternyata memberi manfaat, khususnya hari ini. Badannya jadi kebal pukulan,

Tak!

Bunyi kedua pergelangan tangan yang berbeda tujuan beradu. Suaranya terdengar memilukan. Penonton kembali gaduh, ada yang malah menaikkan taruhan. Anak-anak perempuan menarik nafas tertahan, kemudian kembali menangis. Lonceng telah dibunyikan.

Pukulan demi pukulan, tangkisan… kemudian berlanjut ketendangan. Pertarungan masuk ke gaya bebas. Mereka menjambak, mencakar dan mencekik lawan hingga menggunakan persenjataan seadanya. Kayu, batu kerikil dan pasir. Titik-titik darah mulai menghias pada wajah kedua jago. Lapangan yang kering akibat kemarau menjadi tambah kusam. Debu beterbangan ke udara.

Penonton masih gaduh. Mereka tetap konsisten membentuk formasi lingkaran walau kedua jago berkelahi pontang-panting kesana-kemari. Seperti dikomandoi, Penonton makin gaduh saat salah satu dari kedua jago ada yang terjatuh. Beberapa orang menarik nafas pendek, terkejut, kemudian kembali ribut menyemangati, tak jelas siapa yang dijagokan. Anak-anak perempuan berpelukan menangis histeris menutup mata dengan telapak tangan, tapi anehnya, sambil mengintip disela-sela jemari. Mereka masih penasaran rupanya. Matahari bertambah panas di tengah kepala. Amarah kedua jago tambah membara. Uforia kejantanan menguasai diri mereka masing-masing. Menang atau mati!

****

Disana, dipojok kiri lapangan, dibalik semak-semak. Kedua orang muda-mudi tadi tak terlihat dengan jelas, cuma punggung mereka yang kelihatan samar. Yang pasti keduanya sedang duduk berdampingan tak terlalu rapat diatas rumput. Motor yang membawa mereka tak terlihat. Silelaki berada dikiri dan Siperempuan berada di sebelah kanan. Dengan posisi kepala miring berlawanan, wajah mereka beradu sebentar. Dalam satu waktu itu, tangan kanan Silelaki, dengan gesit- merogoh sesuatu pada punggung ‘lawan’ yang sesekali melenguh tertahan, menelusup kebalik seragam putih, tak jelas sedang apa. Sekarang tangannya ‘hilang’ sebatas lengan…

Adegan demi adegan terus berlanjut. Walau tetap pada posisi duduk yang semula, kepala si-Perempuan tak terlihat, cuma separuh punggung dan siku tangan kirinya yang berhias gelang berwarna pink terang terlihat jelas melingkari pinggang Silelaki yang telah menelusupkan tangan kanannya ke sela bawah ketiak kiri Siperempuan, langsung masuk kebalik seragam putih. Sedangkan Siperempuan-pelan, tapi pasti- dengan posisi kepala dan mulut berada di depan perut sang pacar, melakukan gerakan yang berulang-ulang, naik turun. Rambutnya yang panjang dan lebat terjuntai hingga menyentuh tanah terlihat dari sebelah dalam tangan kirinya yang melingkari pinggang Silelaki yang telah ‘menemukan’ sesuatu, pada bagian depan, di balik seragam putih Siperempuan, yang Ia cari. Beberapa kali rambut itu bergerak mengikuti irama kepala sang pemilik. Ternyata mereka sedang asyik mengekspresikan ‘cinta’.

****

Lapangan berdebu makin tebal. Kedua jagoan dalam perhelatan akbar tinju gaya bebas masih ‘asyik’. Dan penonton, seperti tak kenal lelah, masih gaduh asyik menonton. Anak-anak perempuan, diantara perasaan takut menonton dan ingin tahu, masih menangis, sambil sesekali tepuk tangan, tak jelas berada di pihak siapa. Tapi yang pasti, mereka mulai menikmati pertunjukan.

****

Tak jauh dari situ, seorang Satpam sekolah yang berniat buang hajat kecil didinding tembok sekolah dibelakang musholla, secara tak sengaja menyaksikan kejadian ini. Tanpa mencuci dahulu, Ia langsung beranjak tergesa. Tembok sekolah yang tak terlalu tinggi Ia lompati dan langsung berlari menghampiri kerumunan itu. Retseting celananya Ia naikkan terburu-buru,

Hei, Berhenti!

Serunya sambil berlari, suaranya berat.

Berhenti!

Hening.

Penonton terperanjat bukan main. Muka mereka terlihat panik… Kemudian kerumunan itu gaduh, kocar-kacir sporadis berlari meninggalkan ‘tontonan’. Debu makin kacau berterbangan bebas keudara.

****

Dan sekarang, tinggallah dua jagoan yang kelelahan. Emosi yang turun membuat pekat rasa capek, membuat tulang-tulang terasa ngilu. Mereka terlalu capek hingga tak kuat berlari. Darah mengalir dihidung, pelipis dan mulut. Baju seragam mereka kusut masai. Nafas keduanya memburu. Dada mereka naik turun megap-megap memburu oksigen. Keduanya duduk diatas pasir, kelelahan, tapi emosi mereka masih membara. Mata keduanya nyalang, berkilat liar bak harimau yang sedang berburu kijang, bertatapan. Pertarungan belum usai! Kurang lebih begitu kata-kata yang mereka pikirkan satu sama lain.

Pak satpam makin dekat. Tak ada lagi celah untuk berlari! Keduanya terduduk pasrah.

Kenapa berkelahi?!

Pak Satpam bertanya membentak keduanya. Muka disetting sangar. Kumis yang lebat makin mempertegas kegarangannya.

Kenapa main kekerasan?!

Bodoh!

Ayo berdiri!

Kemudian,

Plak! Plak!

Plak! Plak!

Masing-masing jagoan mendapat dua kali tamparan di pipi.

Ikut keruang BP!

Tidak ada komentar: