Senin, 13 Oktober 2008

melamun

Bingung

Ini gelas terakhir dan tetes yang terlalu dipaksakan untuk dibilang masih ada. Ada banyak ampas kopi yang nyangkut di gigi pada tegukan terakhir tadi. Sial! Berapa gelas lagi kopi yang harus tandas malam ini, agar aku melupakan Ia dan bersemangat untuk melakukan apa-apa?

Begini rasanya perang otak, seolah ada segerombolan orang yang berdebat. Keduanya bertekad mempertahankan apa yang mereka perjuangkan.

Ada yang berkata, “Mari, lupakan Ia, tak ada gunanya mengingat-ingat orang yang tak kita tahu apakah ia sedang sama, mengingat-ingat dan membayangkan dirimu! Sudahlah, lupakan saja.”

Tapi kemudian datang suara yang satunya lagi, menyergak, mementahkan pendapat yang pertama, “Memangnya kenapa? Tak ada salahnya begitu. Itulah cinta. Memang seharusnya begitu. Bumbu hidup namanya. Ayo, ingatlah lebih banyak lagi. Wajahnya, senyumnya yang manis, rambut hitam-legamnya yang melambai kesana-kemari kala tertiup angin. Tak masalah kalau ia tak menyambut sayangmu, setidaknya ada yang masih bisa kamu lakukan saat ini.

Biarkan imajinasimu melayang. Buatlah sesukamu”

Yang satunya lagi, sama keras kepalanya, mengomentari tak mau kalah. “Hentikan! jangan engkau jadi pecandu khayalan, ia membodohi. Ayo kembali ke-kenyataan. Apa tak kasihan dengan badanmu yang makin ringkih ini? Kalau memang Ia tak suka, mau bilang apa? Cari yang lain, atau, kalau kamu bersikeras, pikirkan cara yang jitu buat menarik hatinya. Selesaikan urusanmu yang tertinggal, toh banyak yang harus dilakukan. Kalau mengkhayal terus berarti engkau sedang membunuh perlahan dirimu.”

****

Jadi mana yang harus kuturuti? Entahlah, aku sedang tak bersemangat untuk apa-apa.

Tolong tinggalkan aku sendiri dulu kalian sialan!

****

Menguap saja aku malas, padahal ini jam tiga. Kawan-kawan sudah tidur di kamar mereka masing-masing. Sudah lebih delapan jam aku begini, mengurung diri dalam ruangan 4x4. Begini rasanya patah harapan? Banyak yang diabaikan ketika ia mendera. Berkali-kali aku berkutat dengan pengingkaran. Kerjaku sedari tadi monoton, begitu-begitu saja.

Tiga sendok makan kopi

Dua sendok makan gula pasir

Tiga sendok krimer

Plus air panas dari dispenser yang tak istirahat semenjak kemarin.

Mungkin darahku sudah berganti rupa, jadi kopi.

Begitu saja, setiap tandas yang lama tak sampai lima menit dan…tada… maka meruak kembali aroma kopi hangat kreasiku. Ngobrol dengan diri sendiri sembari sesekali menyeruput kopi. Dan beginilah semua bermula.

****

Aku DICAMPAKKAN ! (dengan huruf kapital). Semua tak sesuai harapan. Angan yang kubangun dan kutumpuk hingga melebihiku ambruk sudah. Kesalahan yang sering terjadi ketika kita telalu menaruh harapan akan sesuatu. Mending kalau sesuai kenyataan, kalau tidak? Rasakan sendiri deh! Aku cuma bisa memberi sedikit ilustrasi.

Pernahkah engkau merasa terbang, meninggalkan bumi beratus-ratus kaki?

Perlahan, tapi pasti, bumi terlihat kecil. Rumahmu dan rumah-rumah disekelilingnya menyemut. Terus meninggi, hingga akhirnya yang kelihatan cuma awan. Pesawat terbang melintas disebelah kirimu. Burung elang sampai iri melihatmu terbang tanpa sayap padahal Ia terengah-engah mengepakkan sayap setiap hari. Engkau begitu terlena dalam keajaiban ini. Dadamu sesak oleh kegembiraan, sebuah uforia, yang sebenarnya tak beralasan. Dibenakmu hanya ada kegembiraan karena telah melakukan pencapaian tertinggi dalam hidup.

Hingga,

Tiba-tiba… tanpa ba-bi-bu lagi engkau jatuh dengan cepat. Semua yang indah tadi sewaktu engkau meninggalkan bumi terlihat menyeramkan. Entah sudah berapa kali awan menamparmu, seperti ingin meremukkan tulang. Badanmu terasa ngilu. Elang tadi sekarang menertawaimu, Ia ikut meluncur disampingmu sambil berputar-putar, seolah ingin menunjukkan bahwa ia punya sayap, punya kuasa untuk terbang, menukik dan bermanuver di udara.

Engkau masih terjun bebas… terus meluncur makin kencang tanpa tahu harus berpegangan pada apa. Tubuhmu megap-megap, jantungmu berderu sangat kencang, tanganmu menggapai-gapai langit, Jatuhmu makin cepat, gravitasi menarikmu, tambah cepat, tubuhmu makin ngilu, tulang-tulangmu bergemeretak. Dan…

Begitulah rasanya kira-kira. Setiap hari harapan ditumpuk, seminggu, sebulan, semuanya tentang harapan yang akhirnya lebih besar dari engkau. Hingga tak sadar membuatmu mengubur diri pada harapan yang akhirnya membuatku lupa pada kekinian keadaan. Tak perlu panjang lebar lagi aku menjelaskannya, toh sudah kubilang bahwa aku sedang malas. Malas…ma…lasss….ssss

Maaf menyela sebentar, Aku belum siap berpisah dengan kopi. Sebentar kutinggal dulu kalian,

Berikan hamba, si bodoh budak angan, waktu barang semenit menuju dispenser di pojok kiri belakang pintu, Kopiku yang kesekian sebentar lagi datang…

Seperti biasa,

Tiga sendok makan kopi 666,

Dua sendok gula pasir,

Plus air panas, minus krimer yang sudah habis di gelas terakhir tadi.

Aku malas kewarung, lagipula ini jam setengah empat pagi, masih terlalu pagi untuk ke toko cuma buat beli lemak nabati. Sementara, cukuplah ini jadi teman…

****

Aku kembali lagi dengan segelas kopi hangat nan nikmat di tangan kanan... Nah, sekarang aku siap cerita lagi,

Jadi aku sekarang sedang sakit, kusebut patah angan (aku malas menyebutnya patah hati. Kesan yang ditangkap oleh otakku tentang istilah ini tak bagus. Kurang lebih sama dengan istilah obat nyamuk, padahal kita sedang ingin membunuh, bukannya mengobati nyamuk-nyamuk yang sedang sakit). Rasanya seperti yang kubilang tadi, aneh, sangat tak biasa, karena memang tak setiap hari kita mengalaminya, bukan?

Rayuan maut kembali menghampiri. “Berbaringlah dan nikmati Ia seperti yang kamu mau. Apa saja.”

“Atau, Lupakan saja Ia. Belajarlah untuk menerima kenyataan!”

Alah, sudahlah!

****

Tapi begitulah,

Memang susah, disaat kita ingin melupakan sesuatu, kita malah melakukan kebalikannya, membawa kembali kepingan-kepingan tentangnya. membuatku bukan jadi melupakan, malah mengingat, dengan sangat, tiap detil tentangnya. Padahal, sedari tadi aku sedang ingin menghapus semua ingatan tentang harapan-harapan semu tadi.

****

Ah, kelompok yang berbeda pendapat itu masih saja berdebat, tapi tak kuhirau lagi. Aku sudah tahu arah perdebatan mereka.

Toh, memang, setelah dipikir, percuma juga menyiksa diri seperti ini. Berapa banyak yang harus tersia-sia cuma karena patah harapan seperti ini?

Tapi mau bagaimana?

“look at the bright side-lihat sisi terangnya. Ada yang dapat dipetik dari setiap kejadian.”

Saran yang bagus.

****

Ah ya… ada yang terlupa.

Begini saja, sekarang sudah kuputuskan, meminjam ucapan seorang teman tentang falsafah hidupnya, “Hidup itu pilihan, maka memihaklah.” Sudah kuputuskan aku harus memihak, menuruti salah satu diantara kedua kelompok yang sedang berdebat tadi. Karena aku tak bisa terus memposisikan diri jadi penonton, tak ada tempat didunia untuk oportunis, orang-orang semacam itu telah menggali kuburannya sendiri. Aku tak mau jadi begitu, masih banyak yang harus kutempuh.

Maka, mari bantu aku, kita urutkan lagi hal mana yang lebih masuk akal (lebih enak, bukan? Masuk akal, daripada masuk got? Bau, tauk!)

  1. Ditolak,
  2. Kecewa tapi tak tahu mau berbuat apa. Ke dukun? Lucunya!
  3. Memang ia manis, sangat manis, bibirnya itu lho, mana tahan! Apalagi kalau sedang senyum, plus kecerdasan yang jarang di jumpai belakangan ini. Kubilang bego orang yang tak jatuh cinta dengannya. Tapi kalau orangnya tak suka, mau bilang apa? Berhenti mencoba atau pantang menyerah sambil memikirkan cara untuk mendapatkan Ia, si pujaan otak kananku.
  4. Banyak yang harus dilakukan, salah satunya beres-beres kamar. Salah duanya, cuci pakaian. Mau sampai kapan pakai singlet dan celana kolor polo yang masam ini? Dan masih banyak yang lain.

Aku mulai ngawur sepertinya, tapi setidaknya aku belajar, mengambil manfaat untuk mengarahkan rasa yang kualami sekarang ini atau nanti-nanti, toh hakikat hidup didunia ini mengalami, melihat dari sekitar dan merasakan sendiri, kemudian mencernanya lewat otak. Daripada berfikir yang tak karuan sehingga muncul ide-ide berbahaya? Bisa gawat!

Aku telah memilih. Memilih untuk memihak. Belum putus yang mana. Biar saja begitu. Biarkan aku menjalani apa yang mau kujalani, menceritakan apa yang mau kuceritakan, dan merahasiakan apa yang sedang ingin kupendam sendiri. Karena, bukan hasil akhir yang terlalu dipersoalkan disini, menurutku. Proses-lah yang harus diberi perhatian. Masalah, yang-seringkali tanpa kita sadari- membuat kita, manusia, menjadi dewasa.

Haha… sebentar kuseruput dulu kopiku ini… Hidup kopi! Viva kafein! And the last, thanks to my beautiful brain for supporting me in this life. You guys are cool!

empat orang...

Empat orang berkumpul membentuk lingkaran. Mereka membicarakan hal-hal biasa saja, kehidupan serta tetek bengeknya. Kopi baru disiram ke dalam teko, empat gelas plastik terisi penuh. Aroma pekat kopi menguar, memenuhi rongga penciuman keempat-empatnya, membuat mereka serentak mengangkat gelas. Beberapa bungkus rokok kretek digeletakkan begitu saja ditengah mereka. Berarti malam masih panjang. Kelenengan perkumpulan baru saja dipukul.

“Apakah aku bisa pergi?” Tarmin, situan rumah, memulai

“Kemana?” Herman bertanya. Sambil menggesekkan roda korek, “Kok tiba-tiba begitu?”

Yang lain menekuri. Belum hendak berkata-kata.

Bulan purnama kelimabelas. Bulatan utuh memucatkan malam. Bale-bale tempat mereka duduk jadi berwarna abu-abu pucat.

“Lantas, kalau kamu pergi, siapa yang bakal mengurus kebun dan sapi-sapi punyamu?” Herman melanjutkan, tanpa menunggu jawaban dari pertanyaannya sendiri.

“Mau kujual saja, buat ongkos, sekalian biaya makan dijalan.”

Yusuf bertanya, “jauhkah?”

Cuma dijawab isyarat bahu-tidak tahu.

“Kok?”

“Aku belum tahu. Perjalanan ini bukan kesuatu, tapi kemana saja.”

“Aneh! macam tak bertujuan.” Udin, paling pendiam, terpancing.

Diam.

Kopi masih hangat didalam teko.

Rembulan makin ketengah, menyusuri jalurnya sendiri di bulan september.

“Ada sesuatu yang harus aku cari. Terdengar aneh, memang. Tapi sisi borjuisku yang lain menuntut hal ini. Apalah arti uang bila aku tak senang... trus, untuk apa dia didunia?

Jangkrik bersahut-sahutan. Orkestra malam sedang dimainkan.

Ada kedalaman yang sering kita lupa kala dikeramaian, kita jarang mendengar diri sendiri bila bicara kebenaran.”

“Jadi apa yang kamu cari? Kedamaian? Bukankah disini tempatnya, tempat dimana seluruh aura positif mendapat ruang?”

“Benar... tapi itulah masalahnya. Kedamaian semacam ini semu. Betul kita bahagia, benar pula bila susu segar bisa kita nikmati tanpa beli. Tapi berapa sering kita berfikir bahwa seharusnya bukan cuma kita yang menikmati kebahagiaan ini? Ada jutaan orang diluar sana yang kelaparan, miskin dan terjajah. Aku sudah capek terus-terusan berada di areal aman semacam sekarang.”

Hening. Semua menekuri.

“Trus,” lanjut tarmin lirih. “Aku sudah tak nyaman dengan segelintir kebahagiaan ini...”

jangkrik dan burung hantu memainkan harmonisasi.

“Lalu, bila kita mulai dari pertanyaan membagi kebahagiaan tadi, bagaimanakah melakukannya?” Timpal yusuf.

Tarmin menghela nafas. Ada biji kedondong tiba-tiba ‘nyangkut’ ditenggorokannya. Tiba-tiba begitu saja.

“En-entah, untuk itulah perjalananku nantinya. Aku ingin mencebur, mengobrak abrik alam raya dengan berbuat. Agar, aku tahu kekinian kondisi, kelak membantuku berfikir objektif.”

“Hebat!” Seru herman bersemangat. Cara berfikirmu itu, darimana kau dapat?

“Belajar, membaca, memahami... filsafat materialisme.”

“Ajari kami!!!” Semua serentak berseru.

“Tidak. Aku belum mafhum,

Aku belum jadi komunis.”

Minggu, 12 Oktober 2008

stereotip

“Jadi anda sekarang mau ke padang?”

Aku mengangguk.

Orang-orang berlalu-lalang dihadapanku. Mereka sibuk dengan bawaan masing-masing. Beberapa orang, sama sepertiku, duduk dibangku panjang, menunggu bis yang akan mengantar kami ke tujuan masing-masing.

Seorang bapak-bapak sewot dengan penjaga loket, suaranya terdengar menggelegar.

“JADI BAGAIMANA INI? SUDAH JAUH-JAUH DATANG BEGINI, MASIH HARUS NUNGGU TIGA JAM LAGI!

KALIAN INI BAGAIMANA, HAH? TAK ADA TANGGUNG JAWAB SEDIKITPUN SAMA PENUMPANG. KEMBALIKAN DUITKU, LEBIH BAIK NAIK YANG LAIN SAJA.”

Yang dimarahi santai saja. Ekspresinya datar, tak berubah. Ia tetap menekuri buku besar yang terpampang dihadapanya diatas meja. Mungkin hal semacam ini sudah jadi ‘makanannya’ sehari-hari. Sambil menatap ke buku dia berkata,

“Tak bisa bang... kalau mau tarik lagi ongkos bisa saja, tapi dipotong limapuluh persen”

“BAH! PERATURAN MACAM APA ITU! TAK ADA! KEMBALIKAN DUITKU!

Ricuh. Bapak itu masih bersitegang dengan penjaga loket. Orang-orang ricuh, tipikal kejadian diterminal menjelang lebaran. Semua manusia tumplek blek , membuat udara dalam ruangan ini jadi panas. Didepanku seorang ibu muda yang terlihat letih, tapi mau tak mau dipaksa untuk mendiamkan anaknya yang menangis meraung-raung. Keringat ‘berlompatan’ dari wajahnya. Panas betul cuaca siang ini.

Koran!! Koran!! ABG diperkosa adik kandung!

Para pedagang mengambil kesempatan. Aneka barang yang mereka jajakan, makin memperkeruh suasana siang ini.

TTS, pak, buat temen diperjalanan? Tawar seseorang dengan ekspresi bak dewa penolong.

Kulambaikan tanganku. Ia tak bergeming. Pedagang keliling adalah orang-orang yang keras kepala, “Biar tak bosan pak. Perjalanan tiga hari paling enak sambil bawa TTS...”

Heh! Aku mengalah. Dua ribu melayang kedalam kantong celananya.

Tidak sekalian pena?

Hei!

“Anda asli sana?”

“maaf?”

“Orang padang?”

“Bukan, saya barat,

“O...” keningnya berkerut, tak yakin.

bercanda kok, saya jawa”

Dia tertawa.

“Hati-hati, mas. Orang padang pelit-pelit. Disana, duit seribu perak saja bisa ribut sekampung.”

“Masak?”

“iya, saya serius. Kemarin saja...”

Dia bercerita, adik perempuannya menikah sama orang padang. Suami adiknya itu, dalam keluarga, terkenal pelit. Susah sekali dimintai tolong untuk hal-hal yang berhubungan dengan biaya.

Aku terpancing. Beberapa kali kuamini, mendukung, pendapatnya tentang orang padang. Cerita malah meluas. Tidak sekedar padang yang kami bicarakan.

“Apalagi orang Palembang. Adatnya jelek, sukanya kekerasan. Sedikit-sedikit maen bacok” kataku.

“Iya, begitu?” kenalanku meragukanku.

“Serius,

Kalau situ ndak percaya, lihat saja di terminal ini. Selain orang medan-yang sama pemarahnya-disini premannya banyak pendatang dari palembang.” Ujarku menguatkan pendapat.

“O... saya pernah dengar juga. Ternyata betul...” ujarnya sambil mengangguk-anggukkan kepala.

****

Dua bulan berlalu, waktu berlalu tak terasa. Sekarang aku di luar negeri.. Asyik! Aku bisa jalan-jalan, hura-hura dan belanja barang-barang luar negeri. Bos menugaskan agar aku meliput kegiatan kebudayaan tahunan di singapura.

Sebelumnya aku senang menghabiskan waktu di sini. Singapura memang penuh keindahan, seolah tiap sudut mampu menampilkan keindahannya sendiri. Stress ku berkurang banyak, apalagi uang saku cukup buat makan di restoran mahal di segenap penjuru.

Malam ini aku menghabiskan makan malam dengan menu Dimsum dan Tomyum. Wuih, pokoke maknyus!

Kelar makan langsung ngeloyor menyusuri orchard road. Disebuah bar, di tengah malam singapura yang hingar bingar, kuhabiskan tequilla shotku. Ini sudah gelas keempat. Kepalaku puyeng. Tak kusadari, tas pinggang yang kukenakan sudah nyangsang dilantai. Seseorang menegurku.

Excuse me, is it your bag?” tegurnya sambil menunjuk kelantai

Kepalaku ‘hilang’. Tak jelas.

Sorry?” sambil mendekatkan kuping pada orang itu.

Dia terlihat sama beratnya denganku.

Dia mengulangi pertanyaannya dengan suara lebih keras.

“Yes... Tha-thank you,” ujarku terbata-bata. Selain efek minuman, bahasa inggrisku tak fasih. “Can’t,” berfikir sebentar mencari padanan kata, “Imagine if lost this bag. It’s my whole life in singapore”

“It’s ok” ujarnya santai.

Ia duduk disampingku.

Aku ingin berterima kasih. Kutraktir dia minuman. Kami berkenalan, namanya Smith.

“I’m Jono” kataku meperkenalkan diri.

“Are you from Indonesia, Jono?”

“Yes” keningku berkerut, kok dia tahu?

Kuutarakan kebingunganku padanya. Dia tertawa.

“Your name, it’s commonly used in Java”

Mulutku membulat. Pantas saja!

“Have you ever visit Indonesia?” tanyaku

“Yep! Once”

“How’s there?” naluri nasionalisme membimbingku untuk menanyakan hal semacam itu.

“Beautiful... But, ehm, I don’t enjoyed much...

Seems corrupption has changed become culture at there, folks”

Kepalaku pusing. Tambah pusing mendengar perndapatnya barusan. Aku sampai tak bisa berkata-kata, mulutku mangap.

Bagaimana sih ngomong bahasa inggris kalau tidak semua orang Indonesia suka korupsi?

Tadinya aku senang berada di singapura. Tapi sesuatu membawaku kembali ke Indonesia, langsung menuju terminal, tempat dua bulan silam.

Aku ditampar keras!

malam

Rembulan, pelan tapi yakin, merayapi malam, membuat pucat pada semua jarak pandang. Ada sihir pada tiap detik itu. Entah sudah berapa lama aku terduduk dihipnotis bulan.

Ada kesenangan tiap kupandangi bulan pertengahan bulan, tapi anehnya, sekaligus ada kegetiran hadir. Ada yang mengoyak sisi melankolisku. Serentak hadir. Begitu menyiksa.

Untung saja ia datang, membuat perasaan sendiri ini jadi nyaman. Ah, senangnya punya teman yang bisa diandalkan.

“Hura-hura?”

“Ya”

Diam.

Berdua kami memandang langit, seakan tak ingin berhenti aku memandang langit. Pemandangan dibawah sini terlalu menyebalkan. Asap, polusi, hutan beton, kemiskinan, penipuan, kanibalisme, seolah tak ada habisnya perilaku negatif yang manusia buat tiap hari. Ah, kenapa begini? suka sekali aku menggerutu. Lebih baik nikmati sajalah dulu malam ini.

Diam.

Sejam berlalu. Tak ada kalimat panjang hendak dibicarakan. Bintang-gemintang dilangit indah memukau. Sekarang, ada dua orang yang dihipnotis malam. Hahaha, malam ini aku hura-hura, bersenang-senang memakan keindahan langit malam.

“Indah”

“Retorik”

“Memukau”

“Idem”

“Idem” ia menirukanku.

Sebotol anggur merah orangtua masih tersisa setengah dibotol. Berarti malam masih cukup panjang untuk diarungi. Dingin malam tak cukup dibantai jaket.

Tiba-tiba ia berdiri. Efek sesuatu.

Ati-ati, Gek campak” ujarku.

Tangannya ia rentangkan lebar-lebar sembari menatap bulan.

Angin berhembus pelan.

Dan sekarang, dengarlah keluhannya. Puisi menawan terangkai dari bibirnya.

Aku ingin teriak!

Aku ingin marah!

Aku ingin Teriak!

Pada langit!

Pada bulan!

Pada Bintang!

Aku ingin teriak!

Aku ingin memaki!

Aku ingin teriak!

Terus!

Terus saja manusia lakukan!

Terus saja terjadi penindasan!

* ati-ati gek campak : hati-hati nanti jatuh (bahasa palembang)

Sabtu, 11 Oktober 2008

hujan datang sebentar lagi

Mendung menggantung tebal, hujan datang sebentar lagi. Dan Setiap ia datang, kecemasan menghinggapiku. Kumohon pada hujan agar tak turun kelewat deras. Kuteriakkan keras-keras dalam hati. Kutengadahkan kepala tinggi-tinggi pada sudut final yang tak lagi tergapai ke arah langit.

Mohon engkau tak deras hari ini...

Aku suka hujan. Lebih suka lagi hujan dalam hutan. Ada butiran indah yang jatuh ke tanah setelah menampar dedaunan dan cabang di kanopi. Pepohonan seolah tersenyum, hendak berkata: Selamat datang... akhirnya datang juga.

Tapi sekarang tak sama, di situasi dan lokasi berbeda dan, tekanan yang juga berbeda pada negeri yang sama, pada kesejahteraan yang tak ada. Aku mulai tak suka hujan.

****

Angin deras ‘memekik’. Semua bergoyang digoncangnya. Debu-debu terbang bebas dijalan raya, naik sampai ke rumah-rumah. Atap seng bergemerincing tak karuan, sebagian lepas tak lagi tertahan oleh paku reyot sekedarnya.

Air digot bergoyang

Rumah ini sedikit bergoyang

Mata ini perih kelilipan.

Orang-orang berjalan memicing.

Kuulangi dalam hati. Sekarang lebih hikmad,

Mohon engkau tak deras hari ini...

Ah, hutan. Ah, hujan. Hujan akan selalu ada, entah hutan dimana.

Aku seperti seniman kata-kata. Padahal aku tak mau seperti mereka. Aku tak mau beronani dengan keindahan kata.

Mohon engkau tak deras hari ini...

****

Tik... tik... tik

Di kejauhan, hujan terdengar mendekat. Siang itu hujan turun sangat deras, dan ‘lama’, hampir satu jam. Banjir merendam separuh kota.

Malamnya ditelevisi ada berita, seorang reporter cantik dengan raut kuyu dan prihatin mengabarkan,

“Hujan deras tadi siang menenggelamkan sebuah pemukiman kumuh dibantaran sungai musi. Sampai saat ini belum diketahui berapa jumlah kerugian yang diderita warga,

Pemerintah telah menurunkan beberapa tim untuk membantu evakuasi war---”

Hening.

Seseorang mematikan Tv.

Di luar mendung, hujan masih turun rintik-rintik. Ia berbaring nyaman di kursi malas yang berkilau setelah menandaskan sebungkus mie kuah instan yang diberi potongan-potongan sosis. “Dingin selalu bikin perut jadi lapar”, gumamnya pada diri sendiri sambil mengelus perut.

Perutnya masih lapar,

Buru-buru ia beranjak dari kursi kulit made in italy itu menuju dapur. Semua orang sedang pergi. Tak ada yang bisa diandalkan untuk membuatkan makanan hangat untuknya.

Belum seberapa jauh melangkah, tiba-tiba handphonenya berdering. Sungkan-sungkanan, diraihnya. Ia menekan tombol loudspeaker.

Di seberang sana,

“Pak, tiga pemukiman kumuh porak poranda terseret banjir. Kita harus melakukan tindakan segera. Kalau tidak, akan berbahaya buat posisi anda.”

“Ya sudah, terserah kamu saja”

“Oke pak, tapi besok bapak siap untuk konferensi pers?

“Bisa. Di mana?”

“Di lokasi banjir”

Setengah hatinya menolak. Demi jabatan ia menyanggupi.

Tak ada lagi percakapan.

Tiba-tiba ia tak lapar lagi. Direbahkannya pantat di kursi mahal itu. Diraihnya remote yang tergeletak disebelahnya. TV menyala, menyiarkan peristiwa banjir, tapi tak lama. Channel berganti film barat.

“Untung saja punya TV berlangganan”

Jauh dari situ, dari perumahan mewah milik orang-orang kaya dan pejabat, puluhan orang sedang terlibat diskusi seru. Mereka bersiap mengantisipasi ketakacuhan pemerintah. Isunya? Bubarkan pemerintah kalau tak pernah memperhatikan rakyat.

Rabu, 30 Juli 2008

seperti apa

Seperti apa dunia yang kita inginkan? Damai, penuh dengan keindahan, orang - orang yang saling hormat dan menyayangi? Seperti itukah? Sebuah dunia standar yang terbentuk dalam setiap imaji manusia setidaknya akan selalu seperti itu. Secara global kita memandang memang itulah yang semua orang inginkan. Tapi pada hal - hal yang secara rigid harus terpenuhi oleh setiap jiwa manusia pasti selalu menginginkan hal - hal yang lebih lagi terperinci. Misal, tidak lagi sekedar mengharapkan dunia yang penuh damai tapi dunia yang tidak saling menindas. Tidak hanya orang - orang yang saling menghormati tetapi juga jujur bertindak dan tulus berbuat, dan tidak sekedar saling menyayangi tetapi juga melindungi dan mengingatkan. Sebuah hal klasik dan sangat standar untuk ditulis tapi tidak untuk dilakukan.

kawan - kawan dimana kalian?


Senin, 28 Juli 2008

lagi - lagi apologi

kemarin aku mengingatkan kawan - kawanku yang lain untuk aktif blogging di sini. tapi virus kemalasana dari kawan angga sepertinya telah menular kepadaku!!!! beberapa bulan terakhir aku menjadi sangat jenuh untuk sekedar membuka blog, menulis bahkan mencoret catatan harianku!!! tapi aku harap kemalasanku akan mengkristal dan akhirnya berbuah karya - karya emas seperti yang juga ditulis kawan angga - semoga - hahahahaha.....

menarik menilik tulisan - tulisan kawan angga di sini. cerpen - cerpen (aku tak pernah tahu masalah aliran - aliran dalam menulis dan aku tidak terlalu memikirkan hal itu) jahil yang menyentil titik dalam kesadaran kita akan realitas. cerpen cerdas, yang mungkin bagi sebagian orang sarkastik bahkan sadis tapi mengena.

aku harap tulisan ini tidak sekedar menjadi apologi bagiku yang belum menyumbangkan satupun tulisan berisi untuk blog ini. aku harap ini menjadi pemencah kristal kemalasanku dan menggugah kerja otakku supaya lebih giat mengkritisi setiap kejadian yang lewat dan mampu mentransformasikannya menjadi kesatuan kalimat pada sebuah tulisan yang layak baca.

maaf kawan - kawan!!!