Minggu, 12 Oktober 2008

malam

Rembulan, pelan tapi yakin, merayapi malam, membuat pucat pada semua jarak pandang. Ada sihir pada tiap detik itu. Entah sudah berapa lama aku terduduk dihipnotis bulan.

Ada kesenangan tiap kupandangi bulan pertengahan bulan, tapi anehnya, sekaligus ada kegetiran hadir. Ada yang mengoyak sisi melankolisku. Serentak hadir. Begitu menyiksa.

Untung saja ia datang, membuat perasaan sendiri ini jadi nyaman. Ah, senangnya punya teman yang bisa diandalkan.

“Hura-hura?”

“Ya”

Diam.

Berdua kami memandang langit, seakan tak ingin berhenti aku memandang langit. Pemandangan dibawah sini terlalu menyebalkan. Asap, polusi, hutan beton, kemiskinan, penipuan, kanibalisme, seolah tak ada habisnya perilaku negatif yang manusia buat tiap hari. Ah, kenapa begini? suka sekali aku menggerutu. Lebih baik nikmati sajalah dulu malam ini.

Diam.

Sejam berlalu. Tak ada kalimat panjang hendak dibicarakan. Bintang-gemintang dilangit indah memukau. Sekarang, ada dua orang yang dihipnotis malam. Hahaha, malam ini aku hura-hura, bersenang-senang memakan keindahan langit malam.

“Indah”

“Retorik”

“Memukau”

“Idem”

“Idem” ia menirukanku.

Sebotol anggur merah orangtua masih tersisa setengah dibotol. Berarti malam masih cukup panjang untuk diarungi. Dingin malam tak cukup dibantai jaket.

Tiba-tiba ia berdiri. Efek sesuatu.

Ati-ati, Gek campak” ujarku.

Tangannya ia rentangkan lebar-lebar sembari menatap bulan.

Angin berhembus pelan.

Dan sekarang, dengarlah keluhannya. Puisi menawan terangkai dari bibirnya.

Aku ingin teriak!

Aku ingin marah!

Aku ingin Teriak!

Pada langit!

Pada bulan!

Pada Bintang!

Aku ingin teriak!

Aku ingin memaki!

Aku ingin teriak!

Terus!

Terus saja manusia lakukan!

Terus saja terjadi penindasan!

* ati-ati gek campak : hati-hati nanti jatuh (bahasa palembang)

Tidak ada komentar: