Senin, 13 Oktober 2008

empat orang...

Empat orang berkumpul membentuk lingkaran. Mereka membicarakan hal-hal biasa saja, kehidupan serta tetek bengeknya. Kopi baru disiram ke dalam teko, empat gelas plastik terisi penuh. Aroma pekat kopi menguar, memenuhi rongga penciuman keempat-empatnya, membuat mereka serentak mengangkat gelas. Beberapa bungkus rokok kretek digeletakkan begitu saja ditengah mereka. Berarti malam masih panjang. Kelenengan perkumpulan baru saja dipukul.

“Apakah aku bisa pergi?” Tarmin, situan rumah, memulai

“Kemana?” Herman bertanya. Sambil menggesekkan roda korek, “Kok tiba-tiba begitu?”

Yang lain menekuri. Belum hendak berkata-kata.

Bulan purnama kelimabelas. Bulatan utuh memucatkan malam. Bale-bale tempat mereka duduk jadi berwarna abu-abu pucat.

“Lantas, kalau kamu pergi, siapa yang bakal mengurus kebun dan sapi-sapi punyamu?” Herman melanjutkan, tanpa menunggu jawaban dari pertanyaannya sendiri.

“Mau kujual saja, buat ongkos, sekalian biaya makan dijalan.”

Yusuf bertanya, “jauhkah?”

Cuma dijawab isyarat bahu-tidak tahu.

“Kok?”

“Aku belum tahu. Perjalanan ini bukan kesuatu, tapi kemana saja.”

“Aneh! macam tak bertujuan.” Udin, paling pendiam, terpancing.

Diam.

Kopi masih hangat didalam teko.

Rembulan makin ketengah, menyusuri jalurnya sendiri di bulan september.

“Ada sesuatu yang harus aku cari. Terdengar aneh, memang. Tapi sisi borjuisku yang lain menuntut hal ini. Apalah arti uang bila aku tak senang... trus, untuk apa dia didunia?

Jangkrik bersahut-sahutan. Orkestra malam sedang dimainkan.

Ada kedalaman yang sering kita lupa kala dikeramaian, kita jarang mendengar diri sendiri bila bicara kebenaran.”

“Jadi apa yang kamu cari? Kedamaian? Bukankah disini tempatnya, tempat dimana seluruh aura positif mendapat ruang?”

“Benar... tapi itulah masalahnya. Kedamaian semacam ini semu. Betul kita bahagia, benar pula bila susu segar bisa kita nikmati tanpa beli. Tapi berapa sering kita berfikir bahwa seharusnya bukan cuma kita yang menikmati kebahagiaan ini? Ada jutaan orang diluar sana yang kelaparan, miskin dan terjajah. Aku sudah capek terus-terusan berada di areal aman semacam sekarang.”

Hening. Semua menekuri.

“Trus,” lanjut tarmin lirih. “Aku sudah tak nyaman dengan segelintir kebahagiaan ini...”

jangkrik dan burung hantu memainkan harmonisasi.

“Lalu, bila kita mulai dari pertanyaan membagi kebahagiaan tadi, bagaimanakah melakukannya?” Timpal yusuf.

Tarmin menghela nafas. Ada biji kedondong tiba-tiba ‘nyangkut’ ditenggorokannya. Tiba-tiba begitu saja.

“En-entah, untuk itulah perjalananku nantinya. Aku ingin mencebur, mengobrak abrik alam raya dengan berbuat. Agar, aku tahu kekinian kondisi, kelak membantuku berfikir objektif.”

“Hebat!” Seru herman bersemangat. Cara berfikirmu itu, darimana kau dapat?

“Belajar, membaca, memahami... filsafat materialisme.”

“Ajari kami!!!” Semua serentak berseru.

“Tidak. Aku belum mafhum,

Aku belum jadi komunis.”

Tidak ada komentar: