Senin, 13 Oktober 2008

melamun

Bingung

Ini gelas terakhir dan tetes yang terlalu dipaksakan untuk dibilang masih ada. Ada banyak ampas kopi yang nyangkut di gigi pada tegukan terakhir tadi. Sial! Berapa gelas lagi kopi yang harus tandas malam ini, agar aku melupakan Ia dan bersemangat untuk melakukan apa-apa?

Begini rasanya perang otak, seolah ada segerombolan orang yang berdebat. Keduanya bertekad mempertahankan apa yang mereka perjuangkan.

Ada yang berkata, “Mari, lupakan Ia, tak ada gunanya mengingat-ingat orang yang tak kita tahu apakah ia sedang sama, mengingat-ingat dan membayangkan dirimu! Sudahlah, lupakan saja.”

Tapi kemudian datang suara yang satunya lagi, menyergak, mementahkan pendapat yang pertama, “Memangnya kenapa? Tak ada salahnya begitu. Itulah cinta. Memang seharusnya begitu. Bumbu hidup namanya. Ayo, ingatlah lebih banyak lagi. Wajahnya, senyumnya yang manis, rambut hitam-legamnya yang melambai kesana-kemari kala tertiup angin. Tak masalah kalau ia tak menyambut sayangmu, setidaknya ada yang masih bisa kamu lakukan saat ini.

Biarkan imajinasimu melayang. Buatlah sesukamu”

Yang satunya lagi, sama keras kepalanya, mengomentari tak mau kalah. “Hentikan! jangan engkau jadi pecandu khayalan, ia membodohi. Ayo kembali ke-kenyataan. Apa tak kasihan dengan badanmu yang makin ringkih ini? Kalau memang Ia tak suka, mau bilang apa? Cari yang lain, atau, kalau kamu bersikeras, pikirkan cara yang jitu buat menarik hatinya. Selesaikan urusanmu yang tertinggal, toh banyak yang harus dilakukan. Kalau mengkhayal terus berarti engkau sedang membunuh perlahan dirimu.”

****

Jadi mana yang harus kuturuti? Entahlah, aku sedang tak bersemangat untuk apa-apa.

Tolong tinggalkan aku sendiri dulu kalian sialan!

****

Menguap saja aku malas, padahal ini jam tiga. Kawan-kawan sudah tidur di kamar mereka masing-masing. Sudah lebih delapan jam aku begini, mengurung diri dalam ruangan 4x4. Begini rasanya patah harapan? Banyak yang diabaikan ketika ia mendera. Berkali-kali aku berkutat dengan pengingkaran. Kerjaku sedari tadi monoton, begitu-begitu saja.

Tiga sendok makan kopi

Dua sendok makan gula pasir

Tiga sendok krimer

Plus air panas dari dispenser yang tak istirahat semenjak kemarin.

Mungkin darahku sudah berganti rupa, jadi kopi.

Begitu saja, setiap tandas yang lama tak sampai lima menit dan…tada… maka meruak kembali aroma kopi hangat kreasiku. Ngobrol dengan diri sendiri sembari sesekali menyeruput kopi. Dan beginilah semua bermula.

****

Aku DICAMPAKKAN ! (dengan huruf kapital). Semua tak sesuai harapan. Angan yang kubangun dan kutumpuk hingga melebihiku ambruk sudah. Kesalahan yang sering terjadi ketika kita telalu menaruh harapan akan sesuatu. Mending kalau sesuai kenyataan, kalau tidak? Rasakan sendiri deh! Aku cuma bisa memberi sedikit ilustrasi.

Pernahkah engkau merasa terbang, meninggalkan bumi beratus-ratus kaki?

Perlahan, tapi pasti, bumi terlihat kecil. Rumahmu dan rumah-rumah disekelilingnya menyemut. Terus meninggi, hingga akhirnya yang kelihatan cuma awan. Pesawat terbang melintas disebelah kirimu. Burung elang sampai iri melihatmu terbang tanpa sayap padahal Ia terengah-engah mengepakkan sayap setiap hari. Engkau begitu terlena dalam keajaiban ini. Dadamu sesak oleh kegembiraan, sebuah uforia, yang sebenarnya tak beralasan. Dibenakmu hanya ada kegembiraan karena telah melakukan pencapaian tertinggi dalam hidup.

Hingga,

Tiba-tiba… tanpa ba-bi-bu lagi engkau jatuh dengan cepat. Semua yang indah tadi sewaktu engkau meninggalkan bumi terlihat menyeramkan. Entah sudah berapa kali awan menamparmu, seperti ingin meremukkan tulang. Badanmu terasa ngilu. Elang tadi sekarang menertawaimu, Ia ikut meluncur disampingmu sambil berputar-putar, seolah ingin menunjukkan bahwa ia punya sayap, punya kuasa untuk terbang, menukik dan bermanuver di udara.

Engkau masih terjun bebas… terus meluncur makin kencang tanpa tahu harus berpegangan pada apa. Tubuhmu megap-megap, jantungmu berderu sangat kencang, tanganmu menggapai-gapai langit, Jatuhmu makin cepat, gravitasi menarikmu, tambah cepat, tubuhmu makin ngilu, tulang-tulangmu bergemeretak. Dan…

Begitulah rasanya kira-kira. Setiap hari harapan ditumpuk, seminggu, sebulan, semuanya tentang harapan yang akhirnya lebih besar dari engkau. Hingga tak sadar membuatmu mengubur diri pada harapan yang akhirnya membuatku lupa pada kekinian keadaan. Tak perlu panjang lebar lagi aku menjelaskannya, toh sudah kubilang bahwa aku sedang malas. Malas…ma…lasss….ssss

Maaf menyela sebentar, Aku belum siap berpisah dengan kopi. Sebentar kutinggal dulu kalian,

Berikan hamba, si bodoh budak angan, waktu barang semenit menuju dispenser di pojok kiri belakang pintu, Kopiku yang kesekian sebentar lagi datang…

Seperti biasa,

Tiga sendok makan kopi 666,

Dua sendok gula pasir,

Plus air panas, minus krimer yang sudah habis di gelas terakhir tadi.

Aku malas kewarung, lagipula ini jam setengah empat pagi, masih terlalu pagi untuk ke toko cuma buat beli lemak nabati. Sementara, cukuplah ini jadi teman…

****

Aku kembali lagi dengan segelas kopi hangat nan nikmat di tangan kanan... Nah, sekarang aku siap cerita lagi,

Jadi aku sekarang sedang sakit, kusebut patah angan (aku malas menyebutnya patah hati. Kesan yang ditangkap oleh otakku tentang istilah ini tak bagus. Kurang lebih sama dengan istilah obat nyamuk, padahal kita sedang ingin membunuh, bukannya mengobati nyamuk-nyamuk yang sedang sakit). Rasanya seperti yang kubilang tadi, aneh, sangat tak biasa, karena memang tak setiap hari kita mengalaminya, bukan?

Rayuan maut kembali menghampiri. “Berbaringlah dan nikmati Ia seperti yang kamu mau. Apa saja.”

“Atau, Lupakan saja Ia. Belajarlah untuk menerima kenyataan!”

Alah, sudahlah!

****

Tapi begitulah,

Memang susah, disaat kita ingin melupakan sesuatu, kita malah melakukan kebalikannya, membawa kembali kepingan-kepingan tentangnya. membuatku bukan jadi melupakan, malah mengingat, dengan sangat, tiap detil tentangnya. Padahal, sedari tadi aku sedang ingin menghapus semua ingatan tentang harapan-harapan semu tadi.

****

Ah, kelompok yang berbeda pendapat itu masih saja berdebat, tapi tak kuhirau lagi. Aku sudah tahu arah perdebatan mereka.

Toh, memang, setelah dipikir, percuma juga menyiksa diri seperti ini. Berapa banyak yang harus tersia-sia cuma karena patah harapan seperti ini?

Tapi mau bagaimana?

“look at the bright side-lihat sisi terangnya. Ada yang dapat dipetik dari setiap kejadian.”

Saran yang bagus.

****

Ah ya… ada yang terlupa.

Begini saja, sekarang sudah kuputuskan, meminjam ucapan seorang teman tentang falsafah hidupnya, “Hidup itu pilihan, maka memihaklah.” Sudah kuputuskan aku harus memihak, menuruti salah satu diantara kedua kelompok yang sedang berdebat tadi. Karena aku tak bisa terus memposisikan diri jadi penonton, tak ada tempat didunia untuk oportunis, orang-orang semacam itu telah menggali kuburannya sendiri. Aku tak mau jadi begitu, masih banyak yang harus kutempuh.

Maka, mari bantu aku, kita urutkan lagi hal mana yang lebih masuk akal (lebih enak, bukan? Masuk akal, daripada masuk got? Bau, tauk!)

  1. Ditolak,
  2. Kecewa tapi tak tahu mau berbuat apa. Ke dukun? Lucunya!
  3. Memang ia manis, sangat manis, bibirnya itu lho, mana tahan! Apalagi kalau sedang senyum, plus kecerdasan yang jarang di jumpai belakangan ini. Kubilang bego orang yang tak jatuh cinta dengannya. Tapi kalau orangnya tak suka, mau bilang apa? Berhenti mencoba atau pantang menyerah sambil memikirkan cara untuk mendapatkan Ia, si pujaan otak kananku.
  4. Banyak yang harus dilakukan, salah satunya beres-beres kamar. Salah duanya, cuci pakaian. Mau sampai kapan pakai singlet dan celana kolor polo yang masam ini? Dan masih banyak yang lain.

Aku mulai ngawur sepertinya, tapi setidaknya aku belajar, mengambil manfaat untuk mengarahkan rasa yang kualami sekarang ini atau nanti-nanti, toh hakikat hidup didunia ini mengalami, melihat dari sekitar dan merasakan sendiri, kemudian mencernanya lewat otak. Daripada berfikir yang tak karuan sehingga muncul ide-ide berbahaya? Bisa gawat!

Aku telah memilih. Memilih untuk memihak. Belum putus yang mana. Biar saja begitu. Biarkan aku menjalani apa yang mau kujalani, menceritakan apa yang mau kuceritakan, dan merahasiakan apa yang sedang ingin kupendam sendiri. Karena, bukan hasil akhir yang terlalu dipersoalkan disini, menurutku. Proses-lah yang harus diberi perhatian. Masalah, yang-seringkali tanpa kita sadari- membuat kita, manusia, menjadi dewasa.

Haha… sebentar kuseruput dulu kopiku ini… Hidup kopi! Viva kafein! And the last, thanks to my beautiful brain for supporting me in this life. You guys are cool!

Tidak ada komentar: