Minggu, 12 Oktober 2008

stereotip

“Jadi anda sekarang mau ke padang?”

Aku mengangguk.

Orang-orang berlalu-lalang dihadapanku. Mereka sibuk dengan bawaan masing-masing. Beberapa orang, sama sepertiku, duduk dibangku panjang, menunggu bis yang akan mengantar kami ke tujuan masing-masing.

Seorang bapak-bapak sewot dengan penjaga loket, suaranya terdengar menggelegar.

“JADI BAGAIMANA INI? SUDAH JAUH-JAUH DATANG BEGINI, MASIH HARUS NUNGGU TIGA JAM LAGI!

KALIAN INI BAGAIMANA, HAH? TAK ADA TANGGUNG JAWAB SEDIKITPUN SAMA PENUMPANG. KEMBALIKAN DUITKU, LEBIH BAIK NAIK YANG LAIN SAJA.”

Yang dimarahi santai saja. Ekspresinya datar, tak berubah. Ia tetap menekuri buku besar yang terpampang dihadapanya diatas meja. Mungkin hal semacam ini sudah jadi ‘makanannya’ sehari-hari. Sambil menatap ke buku dia berkata,

“Tak bisa bang... kalau mau tarik lagi ongkos bisa saja, tapi dipotong limapuluh persen”

“BAH! PERATURAN MACAM APA ITU! TAK ADA! KEMBALIKAN DUITKU!

Ricuh. Bapak itu masih bersitegang dengan penjaga loket. Orang-orang ricuh, tipikal kejadian diterminal menjelang lebaran. Semua manusia tumplek blek , membuat udara dalam ruangan ini jadi panas. Didepanku seorang ibu muda yang terlihat letih, tapi mau tak mau dipaksa untuk mendiamkan anaknya yang menangis meraung-raung. Keringat ‘berlompatan’ dari wajahnya. Panas betul cuaca siang ini.

Koran!! Koran!! ABG diperkosa adik kandung!

Para pedagang mengambil kesempatan. Aneka barang yang mereka jajakan, makin memperkeruh suasana siang ini.

TTS, pak, buat temen diperjalanan? Tawar seseorang dengan ekspresi bak dewa penolong.

Kulambaikan tanganku. Ia tak bergeming. Pedagang keliling adalah orang-orang yang keras kepala, “Biar tak bosan pak. Perjalanan tiga hari paling enak sambil bawa TTS...”

Heh! Aku mengalah. Dua ribu melayang kedalam kantong celananya.

Tidak sekalian pena?

Hei!

“Anda asli sana?”

“maaf?”

“Orang padang?”

“Bukan, saya barat,

“O...” keningnya berkerut, tak yakin.

bercanda kok, saya jawa”

Dia tertawa.

“Hati-hati, mas. Orang padang pelit-pelit. Disana, duit seribu perak saja bisa ribut sekampung.”

“Masak?”

“iya, saya serius. Kemarin saja...”

Dia bercerita, adik perempuannya menikah sama orang padang. Suami adiknya itu, dalam keluarga, terkenal pelit. Susah sekali dimintai tolong untuk hal-hal yang berhubungan dengan biaya.

Aku terpancing. Beberapa kali kuamini, mendukung, pendapatnya tentang orang padang. Cerita malah meluas. Tidak sekedar padang yang kami bicarakan.

“Apalagi orang Palembang. Adatnya jelek, sukanya kekerasan. Sedikit-sedikit maen bacok” kataku.

“Iya, begitu?” kenalanku meragukanku.

“Serius,

Kalau situ ndak percaya, lihat saja di terminal ini. Selain orang medan-yang sama pemarahnya-disini premannya banyak pendatang dari palembang.” Ujarku menguatkan pendapat.

“O... saya pernah dengar juga. Ternyata betul...” ujarnya sambil mengangguk-anggukkan kepala.

****

Dua bulan berlalu, waktu berlalu tak terasa. Sekarang aku di luar negeri.. Asyik! Aku bisa jalan-jalan, hura-hura dan belanja barang-barang luar negeri. Bos menugaskan agar aku meliput kegiatan kebudayaan tahunan di singapura.

Sebelumnya aku senang menghabiskan waktu di sini. Singapura memang penuh keindahan, seolah tiap sudut mampu menampilkan keindahannya sendiri. Stress ku berkurang banyak, apalagi uang saku cukup buat makan di restoran mahal di segenap penjuru.

Malam ini aku menghabiskan makan malam dengan menu Dimsum dan Tomyum. Wuih, pokoke maknyus!

Kelar makan langsung ngeloyor menyusuri orchard road. Disebuah bar, di tengah malam singapura yang hingar bingar, kuhabiskan tequilla shotku. Ini sudah gelas keempat. Kepalaku puyeng. Tak kusadari, tas pinggang yang kukenakan sudah nyangsang dilantai. Seseorang menegurku.

Excuse me, is it your bag?” tegurnya sambil menunjuk kelantai

Kepalaku ‘hilang’. Tak jelas.

Sorry?” sambil mendekatkan kuping pada orang itu.

Dia terlihat sama beratnya denganku.

Dia mengulangi pertanyaannya dengan suara lebih keras.

“Yes... Tha-thank you,” ujarku terbata-bata. Selain efek minuman, bahasa inggrisku tak fasih. “Can’t,” berfikir sebentar mencari padanan kata, “Imagine if lost this bag. It’s my whole life in singapore”

“It’s ok” ujarnya santai.

Ia duduk disampingku.

Aku ingin berterima kasih. Kutraktir dia minuman. Kami berkenalan, namanya Smith.

“I’m Jono” kataku meperkenalkan diri.

“Are you from Indonesia, Jono?”

“Yes” keningku berkerut, kok dia tahu?

Kuutarakan kebingunganku padanya. Dia tertawa.

“Your name, it’s commonly used in Java”

Mulutku membulat. Pantas saja!

“Have you ever visit Indonesia?” tanyaku

“Yep! Once”

“How’s there?” naluri nasionalisme membimbingku untuk menanyakan hal semacam itu.

“Beautiful... But, ehm, I don’t enjoyed much...

Seems corrupption has changed become culture at there, folks”

Kepalaku pusing. Tambah pusing mendengar perndapatnya barusan. Aku sampai tak bisa berkata-kata, mulutku mangap.

Bagaimana sih ngomong bahasa inggris kalau tidak semua orang Indonesia suka korupsi?

Tadinya aku senang berada di singapura. Tapi sesuatu membawaku kembali ke Indonesia, langsung menuju terminal, tempat dua bulan silam.

Aku ditampar keras!

Tidak ada komentar: